Author: Brillian Feza Eryan Prasetya, S.H.
Dalam menyongsong supremasi hukum di Indonesia, berdasarkan amanat Pasal 24 ayat (2) dan (3) UUD NRI Tahun 1945 secara expressis verbis menjelaskan bahwa terdapat kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA) dan lembaga peradilan di bawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara), Mahkamah Konstitusi (MK), serta badan-badan lain yang secara fungsional berkaitan dengan kekuasaan kehakiman dan diatur dalam undang-undang. Dengan dibentuknya lembaga peradilan a quo, keberadaannya diharapkan mampu menjangkau aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan hukum secara simultan (Mochtar & Hiariej, 2021: 14-15).
Pengadilan Pajak didirikan sebagai suatu lembaga peradilan khusus berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (selanjutnya disebut UU Pengadilan Pajak). Berdasarkan Pasal 31 ayat (1) UU Pengadilan Pajak menegaskan bahwa kewenangan absolut Pengadilan Pajak ialah penyelesaian sengketa pajak. Dalam Pasal 1 angka 5 UU Pengadilan Pajak dijelaskan bahwa sengketa pajak sebagai sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak atau penanggung pajak dengan pejabat yang berwenang, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.
Baca juga: Urgensi Insolvency Test Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia
Secara yuridis kedudukan Pengadilan Pajak dalam sistem peradilan merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Namun, dalam hal penyelesaian suatu sengketa perpajakan, pada prinsipnya tidak bisa dipersamakan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Hal tersebut dikarenakan penyelesaian sengketa perpajakan secara khusus melalui Pengadilan Pajak berdasarkan UU Pengadilan Pajak, sehingga berlaku asas lex specialis derogat legi generali (peraturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum). Hal tersebut juga diperkuat dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) PERMA Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif, yang substansinya mengatur terkait kewenangan pengadilan dalam menangani perkara dengan berdasarkan pada peraturan yang lebih khusus (Santosa, 2020: 517).
Untuk memberikan gambaran mengenai perbedaan konsep antara perkara sengketa pajak dan sengketa TUN, dapat dilihat dari sengketa pajak yang diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) melalui Putusan PTUN No. 60/G/2019/PTUN.SBY. Singkatnya, dalam perkara a quo terdapat sengketa KTUN yang timbul akibat ditandatanganinya Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak oleh pihak yang tidak berwenang sehingga memengaruhi keabsahan Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak tersebut.
Dalam perkara tersebut, dapat dijelaskan berdasarkan ketentuan angka 24 dan angka 25 pada Peraturan Dirjen Pajak No. PER-165/PJ/2005 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-297/PJ/2002 tentang Pelimpahan Wewenang Dirjen Pajak Kepada Para Pejabat Di Lingkungan Dirjen Pajak, Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP), secara delegasi berwenang untuk menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan Surat Tagihan Pajak.
Namun dalam praktik perkara a quo penandatanganan surat dilakukan secara mandat oleh Kepala KPP, sehingga hal itu berarti menyalahi ketentuan yang berlaku dan tanggung gugatnya berada pada Dirjen Pajak. Terhadap kondisi tersebut, berdasarkan ketentuan Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UU Administrasi Pemerintahan) mengakibatkan keputusan yang bersangkutan tidak memiliki keabsahan, sehingga keputusannya bersifat tidak mengikat dan muatannya dianggap tidak pernah ada.
Berdasarkan hemat penulis terhadap perkara tersebut, dapat dijelaskan bahwa meskipun sengketa yang terjadi dalam perkara a quo merupakan perkara di bidang perpajakan, namun secara substansial objek permasalahan yang dipersengketakan bukanlah mengenai materi muatan suatu Keputusan TUN melainkan hal yang berkaitan dengan kewenangan Badan/Pejabat TUN dalam mengesahkan suatu Keputusan TUN.
Secara yuridis dapat dimengerti bahwa ketentuan mengenai sengketa Tata Usaha Negara di atur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 dan aturan perubahannya (UU Peratun) serta dalam UU Administrasi Pemerintahan. Dalam peraturan tersebut, secara substansial dapat dimengerti bahwa sengketa TUN adalah sengketa di bidang TUN yang terjadi antara orang atau badan hukum dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya KTUN, termasuk juga sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Unsur daripada KTUN tersebut sesuai Pasal 87 UU Administrasi Pemerintahan di maknai sebagai: a. suatu penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; b. KTUN dilingkungan eksekutif, legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik; d. bersifat final dalam arti lebih luas; e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau Keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.
Apabila meninjau kedudukan mengenai Surat Ketetapan Pajak dan Surat Tagihan Pajak dalam perkara No. 60/G/2019/PTUN.SBY, maka secara yuridis hal tersebut dapat dikategorikan sebagai suatu KTUN (Santosa, 2020: 517-518). Namun mengingat adanya kewenangan Pengadilan Pajak dalam menangani sengketa di bidang perpajakan atas berlakunya UU Pengadilan Pajak, maka terhadapnya berlaku asas lex specialis derogat legi generali.
Baca juga: Keputusan Fiktif Positif Sebagai Objek Sengketa di PTUN Pasca Berlakunya PERPPU Cipta Kerja
Jadi, dapat disimpulkan bahwa berdasarkan Putusan PTUN No. 60/G/2019/PTUN.SBY tersebut secara prinsipal telah menunjukkan batas kewenangan PTUN dalam mengadili sengketa di bidang perpajakan. Hal tersebut sebagaimana diketahui bahwa dalam perkara a quo Hakim tetap mengadili sengketa karena objeknya bukanlah mengenai permasalahan kekurangan bayar pajak/perhitungan pajak, akan tetapi permasalahan terhadap prosedur dan kewenangan dalam penerbitan objek sengketa a quo dan dalam amar putusannya Majelis Hakim mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya dan menyatakan tidak sah Keputusan yang diterbitkan oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak berupa Surat Tagihan Pajak dan Surat Ketetapan Pajak tersebut.
Download: