Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Pandemi Covid-19 berdampak pada sistem keuangan di berbagai negara termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri kala itu terdapat banyak masalah di sektor keuangan akibat dari pandemi yang bersifat hanya sementara waktu. Selain dampak Covid-19 adapun hal lain yang mempengaruhi sektor keuangan yang mengalami perubahan cukup pesat dipicu oleh perkembangan inovasi teknologi di bidang produk maupun jasa keuangan. Namun hal tersebut belum sepenuhnya teregulasi secara baik, sehingga berakibat banyaknya kasus investasi “bodong”, pinjaman ilegal, robot trading dan masih banyak lagi. Selain itu, ternyata untuk pengawasan terhadap market conduct juga masih belum maksimal, sehingga bermunculan kasus di sektor keuangan, seperti gagal bayar di sektor perasuransian.
Berdasarkan berbagai permasalahan tersebut dibentuklah Rancangan Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (RUU PPSK) yang termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Selanjutnya, RUU PPSK telah resmi disahkan menjadi undang-undang dalam Rapat Paripurna DPR pada hari Kamis, 15 Desember 2022.
Baca juga: Dapatkah Mengajukan Judicial Review Terhadap Undang-Undang Yang Belum Diundangkan?
Menurut Sri Mulyani selaku Menteri Keuangan RI menyatakan reformasi sektor keuangan di Indonesia ini merupakan syarat utama untuk membangun perekonomian Indonesia yang dinamis, kokoh, mandiri, sustainable, dan berkeadilan (Badan Kebijakan Fiskal, 2022). Perlu diketahui, UU PPSK ini disusun menggunakan metode omnibus law yang membentuk dan merevisi berbagai undang-undang terkait di sektor keuangan di Indonesia. Undang-undang ini terdiri dari 27 bab dan 341 pasal. UU PPSK menggabungkan 17 undang-undang yang terkait sektor keuangan, beberapa di antaranya telah berusia lebih dari 30 tahun.
Sementara itu isi dari UU PPSK mengatur lima ruang lingkup bagi reformasi sektor keuangan, yaitu (1) ruang lingkup kelembagaan dan stabilitas sistem keuangan; (2) ruang lingkup pengembangan dan penguatan industri sektor keuangan; (3) ruang lingkup akses pembiayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM); (4) perlindungan konsumen; dan (5) literasi, inklusi dan inovasi sektor keuangan (Badan Kebijakan Fiskal, 2022).
Adapun penjelasan dari lima ruang lingkup tersebut yaitu : Pertama, ruang lingkup tersebut memuat penguatan koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) agar terciptanya pengambilan keputusan yang lebih efektif. Kemudian penguatan mandat terhadap Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kedua, ruang lingkup pengembangan dan penguatan industri sektor keuangan. Ruang lingkup ini mempercepat integrasi perbankan, memperkuat pengaturan bank digital. Kemudian memperkuat peran Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), memperkuat standarisasi pengaturan dan pengawasan instrumen keuangan.
Ketiga, ruang lingkup literasi keuangan, inklusi keuangan dan perlindungan konsumen. Ruang lingkup ini berisikan literasi dan inklusi keuangan melalui koordinasi dan sinergi antar lembaga sektor keuangan, serta mewajibkan pelaku usaha sektor keuangan juga terlibat dalam upaya literasi dan inklusi keuangan. Keempat, ruang lingkup akses pembiayaan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM). Ruang lingkup ini berisi substansi untuk mempermudah akses pembiayaan UMKM. Selain itu, juga mengatur penghapusan tagihan kredit pelaku UMKM. Kelima, ruang lingkup reformasi penegakan hukum sektor keuangan. Poin ini memuat harmonisasi upaya penegakan hukum dengan mengedepankan sistem restorative justice (Hidayat, 2022).
Di sisi lain adanya RUU PPSK ini sangat menguntungkan UMKM, hal ini karena Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dapat melakukan penukaran valuta asing, transfer dana dan di ubah menjadi Bank Perekonomian Rakyat. Adanya BPR ini memiliki peran dalam menopang perekonomian bisnis UMKM Indonesia.
Baca juga: 101 KUHP Terbaru: Semua Bisa Kena?
Dengan adanya UU PPSK diharapkan dapat mengatasi permasalahan yang ada di sektor keuangan agar konsumen mendapatkan perlindungan dan dapat menciptakan industri keuangan yang semakin baik. Hal ini bertujuan agar masyarakat dapat memahami terkait manfaat, risiko, dan biaya dibidang produk maupun jasa keuangan yang digunakan.