(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Nur Laila Agustin, S.H.

Maraknya perilaku seseorang yang mengarah dalam bentuk kejahatan, menjadikan perlunya aturan untuk melindungi seseorang dari tindakan kejahatan tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa kejahatan, maka terdapat seseorang yang melakukan pelanggaran dan bertentangan dengan hukum. Adapun di Indonesia dikenal adanya Pelanggaran HAM berat, Pelanggaran HAM berat di Indonesia diatur secara khusus dalam UU Nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (kemudian disebut UU Pengadilan HAM). Undang-undang ini dimaksudkan untuk memberikan landasan hukum dalam menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia yang berat khususnya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Berkaitan dengan baru disahkan RUU KUHP pada hari Selasa, 06 Desember 2022 lalu, terdapat pasal-pasal terkait pelanggaran HAM berat didalamnya. Adapun pasal tersebut menjadi sorotan publik, termasuk Komisioner Komnas HAM Uli Parulian Sihombing menyampaikan  tidak tepat delik pelanggaran HAM berat masuk KUHP. Pasal yang dimaksud yaitu, Pertama Pasal 599 KUHP terbaru tidak menjelaskan mengenai definisi “sistematis dan meluas” terkait tindak pidana kejahatan kemanusiaan. Seharusnya dalam penjelasan dapat diberikan makna kata “sistematis dan meluas”, karena tidak dijelaskan maka nantinya akan ditafsirkan hanya sesuai dengan maksud aparat penegak hukum saja (Ady Thea, 2022).

Baca juga: Bagaimana Perlindungan Hukum Logo, termasuk Hak Cipta atau Merek?

Pasal 599 KUHP juga tidak ada penjelasan terkait bentuk kejahatan pelanggaran HAM berat seperti perbudakan, persekusi, penghilangan orang secara paksa yang termasuk kejahatan kemanusiaan, sehingga menjadikan kebingungan mengenai definisi beberapa frasa dalam Pasal 599, menilik lebih dalam lagi frasa “penghilangan orang secara paksa” apakah disamakan dengan penculikan atau memiliki maksud yang lain.

Adapun terhadap kejahatan genosida ancaman pidana dalam KUHP terbaru lebih rendah dari pada UU Pengadilan HAM yakni, dapat dilihat dalam Pasal 36 UU Pengadilan HAM dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 10 tahun dan paling lama 25 tahun sedangkan dalam Pasal 598 KUHP sanksi pidana penjara turun menjadi paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun. Anis Hidayah Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia menyampaikan hal tersebut menjadi beresiko buruk, karena dapat berkonsekuensi mereduksi extraordinary crime menjadi tindak pidana biasa dan juga akan menimbulkan kesulitan pada saat penuntutan (Damarjati, 2022).

Kedua, Pasal 136 ayat (1) huruf e KUHP terbaru “setelah melampaui waktu 20 (dua puluh) tahun untuk tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.” Jika kita melihat dalam UU Pengadilan HAM berat tidak mengatur adanya daluwarsa mengenai pelanggaran HAM berat, namun dalam KUHP terbaru pelanggaran HAM berat memiliki daluwarsa 20 tahun setelahnya, perlu dipahami bahwa sejatinya proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat membutuhkan waktu yang sangat lama sehingga dalam UU Pengadilan HAM berat tidak diatur mengenai ketentuan daluwarsa.

Umumnya pelanggaran HAM berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, pentingnya diketahui bahwa pelanggaran HAM berat ini mengenal asas retroaktif dan prinsip ditiadakan daluwarsa. Asas retroaktif ini asas yang berlaku surut adalah pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat pengundangannya, dengan maksud memungkinkan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum UU Pengadilan HAM disahkan, dapat diproses secara hukum oleh karena itu ketentuan UU Pengadilan HAM berlaku surut (Erdianto, 2018).

Prinsip ditiadakan daluwarsa dalam pelanggaran HAM berat dijelaskan dalam Pasal 46 UU Pengadilan HAM “Untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai kadaluarsa.” Tidak berlakunya ketentuan daluwarsa dalam kasus pelanggaran HAM berat maka segala bentuk pelanggaran HAM berat yang ada dimasa lampau tetap dapat diproses dan diadili (Sibuea, 2019).

Baca juga: PENJATUHAN PIDANA TERHADAP PIHAK LAIN YANG MEMBANTU MELAKUKAN TINDAK PIDANA PAJAK

Dengan adanya asas retroaktif dan prinsip ditiadakan daluwarsa menjadikan lebih mudah dalam proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia terutama kasus dimasa lampau. Namun, dengan adanya daluwarsa untuk pelanggaran HAM berat dalam KUHP terbaru menjadikan menganut asas non-retroaktif  yang artinya segala kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lampau sebelum disahkan KUHP terbaru tidak dapat diadili. Tindak pidana berat terhadap HAM dalam KUHP terbaru juga dikhawatirkan akan menghilangkan kekhususan dari tindak pidana itu sendiri.

Tag: Berita , Artikel , Advokat