Author: Amarullahi Ajebi, S.H.
Awal mula proses sengketa pajak berasal dari koreksi pada saat pemeriksaan pajak, mengacu pada Pasal 12 ayat (2) dan (3) UU No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) mengatur bahwa:
Ayat (2): Jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan yang disampaikan oleh Wajib Pajak adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Ayat (3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar, Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Baca juga: Doni Budiono Dilantik Sebagai Koordinator Bidang Organisasi PERTAPSI Periode 2022 – 2026
Pasal tersebut yang menjadi dasar sistem pemungutan pajak secara self assessment, serta mengandung makna keterbukaan antara wajib pajak dengan pemeriksa pajak. Namun dalam praktiknya sering terjadi perbedaan penghitungan pajak antara wajib pajak dengan fiskus mengenai besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Perbedaan tersebut berpotensi timbul terjadi sengketa.
Upaya hukum yang dapat ditempuh oleh wajib pajak adalah Keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak (SKP) kepada Direktorat Jenderal Pajak, apabila dirasa mendapatkan ketidakadilan oleh fiskus. Upaya hukum keberatan adalah upaya hukum yang penyelesaiannya masih dilakukan di lingkungan pemerintah. Sedangkan upaya hukum banding dan gugatan adalah upaya hukum yang pemeriksaan dan putusannya dilakukan di lembaga Peradilan Pajak. Mengenai lembaga keberatan tersebut, Perkumpulan Pengacara dan Praktisi Hukum Pajak Indonesia (P3HPI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Independensi dan Keterbukaan dalam Keberatan Pajak yang diselenggarakan pada Senin, 12 Desember 2022 secara daring yang diikuti oleh praktisi dan akademisi hukum pajak.
Salah satu narasumber dari Focus Group Discussion (FGD) yakni Heriyono, SE.Ak, MA, CPI, CA, CPA, BKP selaku Ketua Bidang Peraturan & Forum Group Discussion (FGD) Perkumpulan Konsultan Praktisi Perpajakan Indonesia (PERKOPPI) membahas mengenai permasalahan-permasalahan lembaga keberatan pajak. Menurutnya permasalahan mengenai cara dan syarat mengajukan keberatan tidak memenuhi asas keadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (3) dan Pasal 26 ayat (1) UU KUP yang mengatur: “Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.” Pasal 26 ayat (1) UU KUP mengatur: “Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang diajukan.”
Menurutnya tidak ada keadilan dalam pengaturan tersebut, ketidakadilan tersebut terdapat pada pengajuan tertulis dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak dikirim Ketetapan Pajak, waktunya sangat singkat mengingat Surat Ketetapan Pajak sampai kepada wajib pajak berbeda-beda tergantung tempatnya. Sedangkan keputusan atas keberatan paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat keberatan diterima, sehingga tidak melihat kapan wajib pajak mengirim Surat Keberatan.
Permasalahan selanjutnya yakni upaya hukum yang dapat ditempuh wajib pajak dalam hal terjadi sengketa yakni mengajukan keberatan kepada Lembaga Keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 25 ayat (1) UU KUP yakni:“Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas suatu: SKPKB; SKPKBT; SKPN; SKPLB; atau pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.”
Menurutnya ketentuan tersebut mempunyai kelemahan mengenai independensi terhadap Lembaga Keberatan yang berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak sehingga keadilan yang diharapkan wajib pajak tidak tercapai karena ketetapan pajak yang berasal dari hasil pemeriksaan fiskus di Direktorat Jenderal Pajak, sengketanya diajukan kepada penelaah keberatan yang juga merupakan fiskus pada Direktorat Jenderal Pajak sehingga timbul tekanan psikologis pada penelaah keberatan karena struktur organisasi yang tidak independen serta kedudukan yang tidak setara antara fiskus dan wajib pajak.
Banyak keberatan yang diajukan oleh wajib pajak ditolak oleh Direktorat Jenderal Pajak, sehingga harus diselesaikan oleh Pengadilan Pajak. Hal tersebut memberikan kesan melemparkan tanggung jawab ke Pengadilan Pajak. Sehingga proses keberatan hanya bersifat formalitas semata karena proses pembahasannya dijalankan namun tidak memperhatikan argumen-argumen dari wajib pajak, walaupun sering terjadi kekalahan yang dialami Direktorat Jenderal Pajak dalam sengketa di Pengadilan Pajak secara berulang-ulang.
Permasalahan selanjutnya yakni ketidaksetaraan proses sengketa keberatan antara fiskus dan wajib pajak diakibatkan oleh beberapa alasan. Pertama, fiskus merangkap sebagai juri yang membuat keputusan. Kedua, fiskus merupakan pihak yang dituntut atau diadukan atas keputusan yang diterbitkannya. Ketiga, waktu fiskus untuk menyelesaikan sengketa lebih lama daripada waktu yang disediakan bagi wajib pajak untuk membantah hasil penelitian fiskus. Keempat, pemeriksa dan peneliti keberatan memiliki kepentingan yang sama yakni meningkatkan penerimaan pajak bagi negara.
Baca juga: Sosialisasi Aspek Perpajakan, Kurator dan Kepailitan
Untuk mengatasi permasalahan sengketa keberatan yang ditangani oleh Direktorat Jenderal Pajak, dalam Forum Focus Group Discussion (FGD) tersebut memberikan beberapa usulan strategi untuk meningkatkan independensi proses keberatan. Pertama, perubahan struktur kelembagaan untuk meningkatkan independensi dan objektivitas penelaah keberatan. Kedua, fungsionalisasi penelaah keberatan dan pemberian pendidikan dan pelatihan terkait penanganan keberatan. Ketiga, Direktorat Jenderal Pajak dijadikan sebagai lembaga yang khusus untuk mengurus dan menangani penerimaan pajak beserta urusan administrasi dan pengawasan wajib pajak. Keempat, sengketa keberatan dilakukan dibawah pengawasan badan atau lembaga yang lebih independen dan tidak berkaitan dengan pihak yang diadukan.
Tag: Berita , Artikel , Kuasa Hukum Pengadilan Pajak