(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.

Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut dengan RUU KUHP telah disahkan pada tanggal 6 Desember 2022 dalam Rapat Paripurna DPR yang ke-11. RUU KUHP dimaksudkan berlaku dalam 3 (tiga) tahun setelah disahkan yakni tepatnya pada tahun 2025 mendatang. Dalam waktu 3 (tiga) tahun tersebut pemerintah akan melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap para penegak hukum dan stakeholders terkait. Dari penyusunannya hingga disahkan banyak pasal dalam RUU KUHP yang menarik perhatian sehingga menimbulkan pro dan kontra dari berbagai kalangan. Setidaknya terdapat beberapa Pasal yang dinilai kontroversial dan menimbulkan pro dan kontra, pasal-pasal tersebut, yakni:

1.Pasal terkait living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat

Ketentuan terkait living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 297 RUU KUHP. Dalam hal ini frasa “hukum yang hidup di masyarakat” Pasal 2 dinilai berpotensi merampas kedaulatan masyarakat karena dapat menyebabkan hukum adat disalahgunakan untuk kepentingan pihak tertentu. Keberadaan pasal ini dalam RUU KUHP membawa kewenangan hukum adat yang sebelumnya dimiliki oleh masyarakat adat berpindah kepada para penegak hukum. Hal tersebut kemudian menyebabkan masyarakat adat kehilangan hak dalam menentukan nasibnya sendiri. Menilik lebih jauh adanya ketentuan terkait living law dalam RUU KUHP justru berguna untuk mengakomodir kekosongan hukum dalam menyelesaikan sebuah peristiwa hukum yang melanggar hukum pidana adat. Tujuan adanya pasal terkait living law ini adalah melibatkan masyarakat adat dalam pembaharuan serta penegakan hukum pidana nasional untuk kedepannya (Yacoeb, 2022).

Baca juga: Doni Budiono Dilantik Sebagai Koordinator Bidang Organisasi PERTAPSI Periode 2022 – 2026

2.Pasal terkait hukuman mati

Pasal ini diatur dalam Pasal 67, Pasal 98, Pasal 99, Pasal 100, dan Pasal 101. Dalam KUHP sebelumnya Indonesia juga mengatur tentang hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana pokok. Banyak kalangan menilai adanya hukuman mati bertentangan dengan hak asasi manusia yakni hak untuk hidup. Karena pada dasarnya hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non derogable right) dan dicabut oleh siapapun, termasuk negara. Meskipun RUU KUHP tetap mengatur terkait hukuman mati sebagai salah satu jenis pidana tetapi kedudukan pidana mati disini berbeda dengan KUHP sebelumnya, yakni sebagai pidana alternatif bukan pidana pokok.

3.Pasal terkait penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, pemerintah dan lembaga negara

Pasal mengenai penghinaan terhadap presiden tercantum dalam Pasal 218 RUU KUHP meskipun tidak secara eksplisit menggunakan kata “penghinaan” melainkan “menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri”, Pasal ini dinilai masih sangat subjektif dan berpotensi menjadi Pasal karet. Sedangkan untuk Pasal tentang penghinaan pemerintah dan lembaga negara diatur dalam Pasal 240, Pasal 351, dan Pasal 352 RUU KUHP. Adanya pasal ini dimaksudkan agar kekuasaan umum dan lembaga negara dihormati, namun di sisi lain juga dinilai membatasi hak berekspresi masyarakat.

4.Pasal terkait unjuk rasa atau demo

Pasal ini diatur dalam Pasal 256 KUHP yang menyatakan bahwa bagi pihak yang melakukan unjuk rasa tanpa pemberitahuan kepada yang berwenang dan mengakibatkan terganggunya kepentingan umum akan diancam sanksi pidana. Pasal ini dinilai banyak pihak akan membatasi hak untuk berekspresi dan berpendapat yang dimiliki oleh masyarakat dan disalahgunakan oleh pihak terkait. Sebelumnya sanksi terhadap perbuatan ini hanya terbatas pada pembubaran tidak sampai dikenai sanksi pidana. Jika di lihat dari sisi lain, pasal ini ditujukan untuk melindungi kepentingan umum sebagai pihak yang dirugikan atas adanya unjuk rasa tersebut.

5.Pasal terkait contempt of court

Pasal ini tercantum dalam Pasal 280 RUU KUHP dan dinilai akan membatasi kebebasan pers karena adanya larangan untuk mempublikasi proses persidangan secara langsung. Adanya pasal ini dimaksudkan untuk menghindari adanya opini publik yang nantinya akan mempengaruhi hakim dalam memberikan putusan. Selain itu, pasal ini tidak membatasi pers dalam menulis dan mempublikasikan berita setelah persidangan selesai.

6.Pasal terkait kohabitasi dan perzinaan

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 417 dan Pasal 418, RUU KUHP dimana adanya pasal tersebut dinilai terlalu memasuki ranah pribadi dari masyarakat juga berpotensi memidana korban dari kekerasan seksual. Meskipun demikian pasal ini di masukkan dalam RUU KUHP sebagai delik aduan dan dapat dicabut selama pemeriksaan sidang belum dimulai. Selain itu, adanya ketentuan ini juga mengakomodir norma yang hidup dalam masyarakat yang memandang kohabitasi dan perzinaan sebagai hal yang tabu.

7.Pasal terkait tindak pidana korupsi

Ketentuan terkait tindak pidana korupsi yang diatur dalam Pasal 603 hingga Pasal 606 RUU KUHP tersebut dinilai mengurangi hukuman bagi koruptor dari pidana penjara hingga pidana denda.

Baca juga: Sosialisasi Aspek Perpajakan, Kurator dan Kepailitan

Selain ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal tersebut diatas, masih banyak pasal-pasal lain yang juga dipermasalahkan oleh beberapa kalangan, seperti pasal terkait tindak pidana karena memiliki kekuatan ghaib, alat pencegah kehamilan dan penggugur kandungan, penodaan agama, dan lain sebagainya. Terhitung hingga hari ini masih banyak pihak dan masyarakat yang kurang setuju dengan disahkannya RUU KUHP tersebut. Banyak dari mereka yang mencoba mengkomunikasikan keberatan atas disahkannya RUU KUHP ini melalui unjuk rasa dan di media sosial.

Tag: Berita , Artikel , Advokat