Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.
Pada Selasa, 6 Desember 2022, Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana atau RKUHP resmi disahkan oleh DPR dalam Rapat Paripurna ke-11. Pengesahan RKUHP menjadi Undang-Undang ini sempat hangat diperbincangkan pada tahun 2019 lalu, namun karena banyaknya penolakan dari masyarakat, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo akhirnya meminta agar proses pengesahan tersebut ditunda. Rencana adanya perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Indonesia sendiri memang sudah berlangsung sejak lama. Mengingat sebelumnya Indonesia menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang merupakan produk dari zaman kolonial Hindia Belanda.
Hal tersebut sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly dalam rapat paripurna ke-11 yang menyatakan bahwa “RUU KUHP merupakan salah satu RUU yang disusun dalam suatu sistem hukum pidana nasional yang bertujuan untuk menggantikan KUHP lama sebagai produk hukum pemerintahan zaman kolonial Hindia Belanda”. Selanjutnya beliau menyebutkan bahwa “Upaya pembentukan KUHP telah melalui langkah panjang yang dimulai sejak Seminar Hukum Nasional I pada tahun 1963.”
Baca juga: Sertifikat Hak Kekayaan Intelektual Sebagai Objek Jaminan Utang
Beliau juga menyampaikan jika langkah pergantian KUHP peninggalan zaman kolonial Hindia Belanda ini dilakukan dengan rekodifikasi yang mencakup konsolidasi dan sinkronisasi peraturan hukum pidana baik vertikal maupun horizontal. Nantinya RKUHP ini akan baru diberlakukan secara efektif setelah 3 tahun masa transisi yakni tepatnya pada tahun 2025. Selama masa transisi tersebut pemerintah akan melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap para penegak hukum dan stakeholders terkait.
Dalam proses mengesahkan RKUHP menjadi undang-undang seluruh fraksi yang ada di DPR pada tingkat 1 telah menyetujui untuk membawa RKUHP dalam rapat paripurna guna pengambilan keputusan. Saat rapat paripurna ke-11 berlangsung terdapat salah satu fraksi yang menyampaikan catatan terkait RKUHP. Sufmi Dasco Ahmad selaku Wakil Ketua DPR menyebutkan “Ada fraksi yang menyampaikan catatan terkait RKUHP. Saya sudah berikan kesempatan pada fraksi untuk sampaikan catatan tersebut ke rapat paripurna, namun justru meminta mencabut pasal dalam RKUHP, itu namanya tidak konsisten.”
Diketahui bahwa salah satu fraksi yang dimaksud tersebut adalah anggota Fraksi PKS DPR, Iskan Qolba Lubis, beliau sempat melakukan interupsi dalam rapat paripurna guna menyampaikan 2 (dua) catatan terhadap RKUHP. Dua catatan tersebut berkaitan dengan pasal penghinaan terhadap presiden dan lembaga yang menurutnya perlu dihapus. Pada akhirnya interupsi tersebut dipotong oleh Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad karena dianggap Fraksi PKS telah setuju dalam pengambilan keputusan di tingkat I untuk membawa RKUHP dalam rapat paripurna guna disahkan sebagai undang-undang.
Baca juga: Perubahan Aturan IMB Menjadi PBG
Terlepas dari banyaknya kontroversi yang ada dimulai dari proses penyusunan hingga pengesahan RKUHP, adanya RKUHP merupakan salah satu wujud dari reformasi hukum pidana di Indonesia. Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menyebutkan “RUU KUHP sangat diperlukan masyarakat Indonesia dalam rangka mereformasi hukum pidana nasional, mereformasi hukum pidana nasional sesuai dengan tujuan pembangunan nasional.” Menurutnya hal tersebut ditujukan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur serta mewujudkan kesamaan dan HAM. Selain itu, secara holistik RUU KUHP memuat penyempurnaan dengan mengakomodir semua pendapat masyarakat agar tidak ada kriminalisasi dan kesewenang-wenangan oleh aparat penegak hukum.