Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Pengaturan hukum waris dalam KUHPerdata dikenal dengan dua cara untuk memperoleh warisan, yaitu: 1. ketentuan undang-undang atau ab intestato, yaitu ahli waris yang telah diatur dalam undang-undang, karena hubungan kekeluargaan; 2. testament atau wasiat atau testamentair (Anisitius Amanat,2000:3).
Pewaris sebagai pemilik harta, mempunyai hak mutlak untuk mengatur apa saja yang dikehendaki atas hartanya. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari hukum waris sebagai hukum yang bersifat mengatur. Ahli waris yang mempunyai hak mutlak atas bagian yang tidak tersedia dari harta warisan disebut ahli waris legitimaris. Sedangkan bagian yang tidak tersedia dari harta warisan yang merupakan hak ahli waris legitimaris, dinamakan legitime portie. Jadi hak legitime portie adalah hak ahli waris legitimaris terhadap bagian yang tidak tersedia dari harta warisan (Anisitius Amanat,2000:68).
Baca juga: Peralihan Hak Atas Tanah Berdasarkan Surat Keterangan Waris
Menurut Pasal 874 KUHPerdata, semua harta peninggalan dari Pewaris yang wafat adalah kepunyaan ahli warisnya, kecuali jika pewaris sudah menetapkan secara sah dengan Surat Wasiat (testament). Surat Wasiat (testament) merupakan sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya setelah ia meninggal dan dapat dicabut kembali olehnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 875 KUHPerdata.
Berbeda dengan wasiat, hibah merupakan pemberian barang terhadap orang lain secara cuma-cuma yang telah diatur dalam Pasal 1666 KUHPerdata yang menyatakan: “Penghibahan adalah suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Undang-undang hanya mengakui penghibahan-penghibahan antara orang-orang yang masih hidup.”
Sementara itu, hibah wasiat dapat diartikan sebagai pemberian suatu barang tertentu oleh pewaris kepada orang tertentu yang telah disebutkan atau ditetapkan oleh pewaris dalam surat wasiat yang dibuatnya sebagaimana ketentuan dalam Pasal 957 KUHPerdata yang menyatakan: “Hibah wasiat ialah suatu penetapan khusus, di mana pewaris memberikan kepada satu atau beberapa orang barang-barang tertentu, atau semua barang-barang dan macam tertentu; misalnya, semua barang-barang bergerak atau barang-barang tetap, atau hak pakai hasil atas sebagian atau semua barangnya.”
Orang yang berhak menerima hibah wasiat berdasarkan Pasal 958 KUHPerdata adalah penerima hibah wasiat bukan ahli waris dan ahli waris yang dinyatakan sebagai berikut: “Semua hibah wasiat yang murni dan tidak bersyarat, sejak hari meninggalnya pewaris, memberikan hak kepada penerima hibah wasiat (legitaris) untuk menuntut barang yang dihibahkan dan hak tersebut beralih kepada sekalian ahli waris atau penggantinya.”
Hibah wasiat dilakukan oleh orang yang sudah dewasa dan diberikan kepada orang dewasa atau anak kecil (dengan perantaraan wali/orang tua) dan dicatat di Notaris. Dalam ketentuan di KUHPerdata, tentang pencatatan harta hibah diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa pemberian harta hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan dihadiri oleh dua orang saksi.
Pembuatan akta hibah wasiat harus dilakukan di hadapan Notaris/PPAT, sebab Akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai kekuatan nilai pembuktian yang melekat Meskipun telah berbentuk suatu akta yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT, seringkali terjadi sengketa terhadap hibah wasiat tersebut. Tidak menutup kemungkinan ahli waris menginginkan pembatalan terhadap akta hibah wasiat yang dibuat oleh pewaris.
Dalam hukum perdata, surat wasiat ini akan diakui sebagai alat pembagi waris, sepanjang wasiat tersebut tidak melanggar hukum dan ketentuan batas minimum yang harus didapat oleh seorang ahli waris. Pada hukum waris perdata, ahli waris menurut surat wasiat yang lebih diutamakan, dengan pengecualian selama isi dan pembagian dalam surat wasiat tidak bertentangan dengan undang-undang. Pertimbangan hukumnya karena surat wasiat merupakan kehendak terakhir dari si pewaris terhadap harta warisannya, dengan ketentuan tidak boleh merugikan bagian ahli waris karena ahli waris menurut undang-undang memiliki bagian mutlak (legitime portie) yang diatur dalam Pasal 913 KUHPerdata yang sama sekali tidak bisa dilanggar bagiannya.
Pembatalan suatu wasiat dapat dilakukan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 992 KUHPerdata yaitu dengan pembuatan Akta Notaris Khusus yang mengandung pernyataan pewaris tentang pencabutan seluruhnya atau sebagian wasiat yang dulu. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka pembatalan hibah wasiat dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu: 1. Pembatalan melalui pembuatan Akta Notaris Khusus sebagaimana ketentuan dalam Pasal 992 KUHPerdata; atau 2. Pembatalan melalui Pengadilan Negeri yang berwenang apabila tidak memenuhi ketentuan dalam peraturan perundang-undangan atas gugatan dari legitimaris.
Baca juga: Hak Anak Angkat Terhadap Warisan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa menurut KUHPerdata mengenal peraturan hibah wasiat ini dengan nama testament. Dalam KUHPerdata telah dijelaskan mengenai ketentuan umum surat wasiat, kecakapan seseorang untuk membuat surat wasiat atau untuk menikmati keuntungan dari surat wasiat, bentuk surat wasiat, warisan, pengangkatan waris, hibah wasiat, pencabutan dan gugurnya wasiat dan dipertegas di dalam Pasal 875 KUHPerdata. Dalam Pasal 859 KUHPerdata menyiratkan bahwa mulai berlakunya hibah wasiat itu adalah semenjak yang memberi wasiat telah meninggal dunia, jadi harta yang diwasiatkan oleh si pemberi wasiat sejak saat itu juga sudah dapat dituntut dan diperoleh oleh penerima wasiat. Namun, ahli waris dapat menuntut pembatalan hibah wasiat apabila surat wasiat bertentangan dengan undang-undang.