(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Nur Laila Agustin, S.H.

Seiring pesatnya persaingan perdagangan barang dan jasa di Indonesia, menandakan merek mempunyai peran yang sangat penting. Peran merek disini sebagai tanda pembeda dari produk yang sejenis yang berasal dari produsen lain. Selain itu adanya merek, para pengusaha dapat menjaga dan memberikan jaminan atas kualitas (a guarantee of quality) barang dan jasa yang diperoleh serta mencegah terjadinya tindakan persaingan tidak sehat dari pengusaha lain yang memiliki itikad tidak baik (Sinurat, Esther & Nainggolan, 2020:71).

Namun dalam kenyataannya, sampai saat ini banyak dijumpai berbagai produk imitasi atau palsu yang dijual di berbagai tempat di Indonesia. Tindakan pemalsuan ini sangat merugikan konsumen maupun pemilik merek itu sendiri, hal lain dari tindakan pemalsuan ini hanya menguntungkan si pemalsu dengan melesatnya penjualan yang secara cepat. Adanya perbuatan dengan sengaja melakukan pemalsuan merek ini, memungkinkan untuk pemilik merek menyelesaikan permasalahan ini melalui jalur pidana, hal ini tertuang dalam Pasal 100 sampai 102 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (selanjutnya disebut UU Merek).

Baca juga: Unsur Kebaruan Dalam Hak Desain Industri

Pemalsuan sendiri berasal dari kata palsu yang berarti “tidak tulen, tidak sah, tiruan, gadungan, sedangkan pemalsuan masih dari sumber yang sama diartikan sebagai proses, cara, perbuatan memalsu” (Departemen Pendidikan Nasional, 2008:817). Perbuatan pemalsuan termasuk dalam kelompok kejahatan “penipuan”, akan tetapi tidak semua perbuatan penipuan adalah pemalsuan. Perbuatan pemalsuan termasuk kelompok kejahatan penipuan, jika seseorang memberikan gambaran tentang sesuatu keadaan atas sesuatu barang (surat) seakan-akan asli atau kebenaran tersebut dimilikinya. Karena gambaran ini orang lain terpedaya dan mempercayai bahwa keadaan yang digambarkan atas barang atau surat tersebut itu adalah benar atau asli (Esther & Nainggolan, 2020:74).

Sebagai contoh kasus yang telah terjadi dan telah diputus perkaranya dalam Putusan Nomor 87/Pid.Sus/2019/PM Pti, dalam kasus posisinya Terdakwa memperoleh garam cetak atau garam bata merek “Ndang Ndut” palsu sebanyak 200 (dua ratus) pack, dengan cara membeli garam cetak/garam bata merek “Abang Gendut” yang ukurannya sama dengan garam cetak/garam bata merek “Ndang Ndut” yang asli, dari gudang milik UD. MM. Gemilang dengan harga yang lebih murah. Garam cetak/garam bata merek “Abang Gendut” dibuka kemasannya dengan cara disobek, setelah itu garam tersebut dimasukkan ke dalam kemasan plastik warna putih yang terdapat tanda/logo merek “Ndang Ndut” palsu atau yang mempunyai persamaan dengan tanda/logo merek “Ndang Ndut” asli, yang telah Terdakwa tempel dengan hologram yang desain dan bentuknya sama dengan hologram merek garam “Ndang Ndut” yang asli, setelah itu kemasan ditutup dengan cara dilipat dan di staples. Merek garam “Ndang Ndut” yang asli telah terdaftar pada 11 November 2009, dengan nama merek dagang Ndangdut + Lukisan, dengan dibuktikan adanya Sertifikat Merek dengan nomor pendaftaran IDM000226686.

Menurut dakwaan Jaksa Penuntut Umum tindakan yang dilakukan terdakwa ini melanggar Pasal 100 ayat (1) UU Merek “Setiap orang yang dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Dalam dunia perdagangan, praktik pemalsuan merek dagang yang dilakukan terdakwa merupakan iktikad tidak baik dengan memproduksi merek yang sama namun dengan isi yang berbeda, hal ini memperdaya konsumen yang seakan-akan barang yang dijual terdakwa adalah barang yang sama memiliki kualitas yang baik karena dikelola dengan bahan-bahan yang bermutu.

Pemalsuan merek sebuah perbuatan yang dilarang dari segi ekonomi, karena barang yang dijual palsu tersebut memberikan dampak yang merugikan bagi konsumen. Tindakan yang dilakukan oleh terdakwa ini tidak termasuk tindakan yang membahayakan hingga menyebabkan kematian, akan tetapi lebih mengarah kepada pesaing yang ingin mencari keuntungan lebih besar dengan memakai merek yang menyerupai sehingga menimbulkan kebingungan di masyarakat (Cahyani, Dewi & Karma, 2021:117).

Selain itu perbuatan terdakwa yang tidak memiliki izin dari pemilik merek untuk menggunakan merek dagang “Ndang Ndut” asli jika dihubungkan dengan perbuatan terdakwa yang mana tetap menggunakan merek tersebut dan membuat kemasan serupa, hal ini menunjukkan adanya persesuaian antara niat dengan perbuatannya, yaitu terdakwa dengan sengaja dan dengan tanpa hak melakukan perbuatan tersebut, yang mana hal ini memenuhi unsur dalam Pasal 100 ayat (1) UU Merek.

Baca juga: Hati-Hati Penyiaran Ulang Konten Piala Dunia Dapat Dipidana!

Terlihat dalam hasil akhir perkara ini hakim memutus bahwa terdakwa terbukti melakukan tindak pidana dengan tanpa hak menggunakan merek yang sama pada keseluruhannya dengan merek terdaftar milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis yang diproduksi dan/atau diperdagangkan sebagaimana dalam dakwaan alternatif kesatu. Pada dasarnya, apabila terdakwa meminta izin/lisensi kepada pemilik merek “Ndang Ndut” yang terdaftar untuk memperdagangkan dan mendapatkan keuntungan dari hasil penjualan atas garam cetak atau garam bata merek “Ndang Ndut”, maka tidak akan menimbulkan kerugian baik bagi pemilik merek maupun konsumen.

Download:

Putusan Nomor 87/Pid.Sus/2019/PM Pti

Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual