(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Amarullahi Ajebi, S.H.

Arsitektur peninggalan kolonial merupakan bangunan menjadi saksi bisu sejarah yang telah dilalui bangsa Indonesia pada masa lampau. Selain itu, arsitektur peninggalan kolonial merupakan fenomena budaya yang tidak dapat ditemukan di tempat lain. Oleh karena itu, sebuah bangunan memiliki nilai sejarah terhadap bangsa dan nilai arsitektural yang tinggi. Maka dari itu, arsitektur termasuk ke dalam bidang ilmu pengetahuan dan seni sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf h UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (selanjutnya disebut UU Hak Cipta) yang menjadikan karya arsitektur sebagai suatu karya seni yang dilindungi oleh hak cipta.

Namun, seiring berjalannya waktu bangunan arsitektur peninggalan kolonial banyak diantaranya telah rusak, hancur, diubah, dibongkar, dan lain-lain demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Atas dasar tersebut, untuk mengurangi dampak kerusakan terhadap bangunan arsitektur peninggalan kolonial serta untuk pelestariannya negara bertanggung jawab dalam mengelola dan melestarikannya dengan berbagai instrumen hukum.

Pertama, definisi dari Hak Cipta sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 UU Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Yang dimaksud hak eksklusif adalah hak yang hanya diperuntukkan bagi pencipta, sehingga tidak ada pihak lain yang dapat memanfaatkan hak tersebut tanpa izin pencipta. Dalam UU Hak Cipta, pengubahan suatu ciptaan tanpa seizin dari pemegang hak cipta baik secara keseluruhan atau sebagian yang sangat substansial merupakan pelanggaran terhadap hak cipta seperti, perbuatan, menjual, menyewa sampai mengalihfungsikan bangunan kolonial tanpa izin dari pemegang hak cipta dalam hal ini negara dapat dikatakan suatu pelanggaran terhadap hak cipta berupa hak eksklusif.

Baca juga: Urgensi Pembuktian “Itikad Tidak Baik” Dalam Gugatan Pembatalan Merek

Dalam hal pengubahan suatu ciptaan terhadap arsitektur berupa bangunan kolonial perlu diperhatikan mengenai batas kewajarannya seperti wujud, bentuk fisiknya, hingga strukturnya Namun terdapat pengecualian sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (3) UU Hak Cipta, dalam hal ciptaan berupa karya arsitektur, pengubahan tidak dianggap sebagai pelanggaran hak cipta jika dilakukan berdasarkan pertimbangan pelaksanaan teknis. Kemudian Pasal 38 UU Hak Cipta, negara memegang hak cipta atas ekspresi budaya tradisional dan wajib melakukan inventarisasi, menjaga dan memelihara.

Kedua, Undang-Undang No.11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya (selanjutnya disebut UU Cagar Budaya). Dalam Pasal 1 angka 22 UU Cagar Budaya yang dimaksud pelestarian adalah upaya dinamis untuk mempertahankan keberadaan cagar budaya dan nilainya dengan cara melindungi, mengembangkan, dan memanfaatkannya. Kemudian Pasal 1 angka 23 UU Cagar Budaya yang dimaksud dengan Perlindungan adalah upaya mencegah dan menanggulangi dari kerusakan, kehancuran, atau kemusnahan dengan cara penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran.

Arsitektur peninggalan kolonial sebagai salah satu benda cagar budaya berwujud arsitektur berupa benda, bangunan, dan struktur sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU Cagar Budaya yang perlu dilakukan upaya pelestarian. Dalam Pasal 81 ayat (1) UU Cagar Budaya mengatur bahwa “Setiap orang dilarang mengubah fungsi ruang situs cagar budaya dan/atau kawasan cagar budaya peringkat nasional, peringkat provinsi, atau peringkat kabupaten/kota, baik seluruh maupun bagian-bagiannya, kecuali dengan izin Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali kota sesuai dengan tingkatannya.” Kemudian bentuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 101-115 UU Cagar Budaya dapat diancam dengan pidana dan/atau denda.

Ketiga, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (selanjutnya disebut UU Gedung Bangunan) dan kemudian juga ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung (selanjutnya disebut PP No.16 Tahun 2021). Bangunan gedung dan lingkungannya yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya harus dilindungi dan dilestarikan, penetapan bangunan gedung dan lingkungannya yang dilindungi dan dilestarikan dilaksanakan.

Pelaksanaan perbaikan, pemugaran, perlindungan, pemanfaatan serta pemeliharaan atas bangunan gedung dan lingkungannya hanya dapat dilakukan sepanjang tidak mengubah nilai dan/atau karakter cagar budaya yang dikandungnya. Apabila terdapat menyalahi ketentuan fungsi dan/atau karakter cagar budaya, harus dikembalikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 38 UU Gedung Bangunan. Hal tersebut dipertegas dalam Pasal 83 ayat (3) PP No. 16 Tahun 2021 yakni ketentuan nilai penting bangunan gedung cagar budaya harus dapat menjamin terwujudnya makna dan nilai penting yang meliputi langgam arsitektur, teknik membangun, sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan, serta memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.

Baca juga: Hati-Hati Dalam Menggunakan Software Bajakan, Dapat Di Pidana!

Salah satu bentuk pelestarian bangunan arsitektur peninggalan kolonial yang dapat dilakukan oleh pemilik bangunan adalah dengan cara pengalihfungsian menyesuaikan dengan zaman pada saat itu agar memiliki nilai manfaat. Selain itu, pengalihfungsian ditujukan agar bangunan dapat terjaga dan dirawat secara berkala sehingga mendapatkan manfaat ekonomi dari bangunan tersebut. Selain, pengalihfungsian bangunan, perlu diperhatikan juga pelestariannya. Salah satu bentuk dari pelestarian pengembangan adalah sarana pelestarian berupa pemeliharaan yang dapat dilakukan oleh pemilik bangunan gedung untuk menghasilkan keuntungan ekonomi dari hasil komersial yang dapat dinikmati oleh pemilik bangunan gedung dan masyarakat umum.

Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual