Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Dalam dunia perdagangan ketika hendak menjual produk harus mementingkan fungsi dan kualitas produk yang dijual. Selain itu desain maupun estetika suatu produk juga harus dipertimbangkan, karena selain fungsi dan kualitas yang bagus desain juga mempengaruhi nilai jual. Pada dasarnya desain memiliki tujuan untuk membedakan produk yang dimiliki dengan produk pesaing. Desain industri merupakan cabang hak kekayaan intelektual khususnya dalam hak milik industri (industrial property) yang sangat dilindungi.
Perlindungan desain industri sebenarnya sudah terlaksana, dengan bukti Indonesia telah menjadi anggota dari WIPO (World Intellectual Property Organization) dan telah menandatangani TRIPS Agreement yang mengatur tentang perlindungan hak kekayaan intelektual, salah satunya adalah desain industri. Contohnya dalam Pasal 25 ayat 1 TRIPS Agreement menyatakan bahwa setiap anggota WIPO harus melindungi desain industri (Laksamana, 2021:22). Selain itu, amanat pasal tersebut telah termaktub dalam UU No 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (disebut UU Desain Industri). Namun dalam Pasal 4 UU Desain industri hanya menyatakan bahwa hak diberikan jika tidak melanggar peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, agama dan kesusilaan. Diluar dari syarat tersebut dianggap tidak melanggar hak desain industri.
Baca juga: Kronologi Sengketa Merek “SUPERMAN” antara DC Comics melawan PT. Marxing Fam Makmur
Terkait penjelasan pasal tersebut, masih memungkinkan seseorang melakukan imitasi terhadap suatu produk. Imitasi adalah tingkat penciptaan objek yang paling rendah yaitu dengan melakukan kegiatan meniru objek yang sebenarnya. Hasil akhirnya adalah replika benda sebenarnya (DJKI, 2022). Banyaknya produk yang memiliki kemiripan desain industri yang beredar di Indonesia, seperti contoh merek sepatu compass dan campess. Compass lebih dahulu hadir dengan desain sepatu kets yang iconic dan mempunyai ciri khas pada logo bumerang di sisi kiri dan kanan sepatu. Lalu lahirlah Campess yang mempunyai kemiripan desain siluet sepatu serta logo yang sangat mirip dengan Compass. Selain itu terdapat contoh sengketa berkaitan dengan imitasi yang terjadi di Indonesia dan telah diselesaikan melalui jalur pengadilan, yaitu Putusan Mahkamah Agung No. 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013.
Putusan Mahkamah Agung No. 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dalam kasus posisinya dapat dijelaskan dengan singkat, bahwa produk sepatu “Onitsuka Tiger” merupakan desain industri milik Asics Tiger yang ternyata sudah didaftarkan oleh pihak lain yaitu Theng Tjhing Djie dan Liog Hian Fa pada 16 September 1985. Namun walaupun “Onitsuka Tiger” pemegang desain industri produk sepatu Asics yang sah namun pihak “Onitsuka Tiger” kalah di tingkat kasasi dikarenakan alasan prosedural. Padahal secara substansi “Onitsuka Tiger” jelas dan terbukti merupakan pemilik hak desain industri produk sepatu Asics yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa pengadilan di Indonesia memberikan perlindungan desain industri yang lemah.
Di Indonesia sebenarnya telah memiliki sarana yang lengkap untuk perlindungan pemegang hak desain industri. Namun terkait imitasi terhadap desain industri belum diatur secara terperinci, hanya dijelaskan dalam Pasal 4 UU Desain Industri. Dalam contoh Putusan Mahkamah Agung No. 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013. Seharusnya desain sepatu Asics memiliki pelindungan terhadap pemiliknya. Karena Asics sudah lebih dulu ada dan telah didaftarkan lebih lama di Jepang dan dunia internasional telah mengakuinya. Namun disebabkan kesalahan prosedural yang mengakibatkan desain sepatu “Onitsuka Tiger” menjadi milik Tergugat.
Berbicara terkait perlindungan hukum terhadap desain industri terdapat 2 mekanisme, yaitu perlindungan yang bersifat preventif dan represif. Sarana preventif, subjek hukum memiliki kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapat sebelum pemerintah mengambil keputusan untuk mencegah perselisihan. Preventif yang dimiliki di Indonesia diatur dalam Pasal 2, Pasal 6 dan Pasal 9 UU Desain Industri. Sarana perlindungan secara represif ini bertujuan menyelesaikan sengketa melalui lingkup Pengadilan Niaga. Terkait sarana perlindungan secara represif diatur dalam Pasal 37, Pasal 39 dan Pasal 54 UU Desain Industri (Laksamana, 2021:22).
Selanjutnya jika melihat amanat dalam Pasal 25 ayat (1) TRIPS Agreement bahwa anggota harus memberikan perlindungan desain industri yang baru atau asli yang dibuat sendiri. Anggota dapat menetapkan bahwa desain tidak baru atau asli jika tidak berbeda secara signifikan dari desain atau kombinasi fitur desain yang diketahui. Anggota dapat menetapkan bahwa perlindungan tersebut tidak boleh mencakup desain yang pada dasarnya ditentukan oleh pertimbangan teknis atau fungsional. Berdasarkan hal tersebut jelas bahwa produk imitasi tidak dapat dan tidak boleh dilindungi karena pemegang hak desain harus mendapatkan haknya selaku pemilik desain industri.
Adapun dalam Pasal 26 ayat (1) TRIPs Agreement bahwa pemilik desain industri yang dilindungi berhak untuk mencegah pihak ketiga yang tidak mendapat izin dari pemiliknya untuk membuat, menjual atau mengimpor barang yang memuat atau mewujudkan desain yang merupakan salinan, atau secara substansial salinan, dari desain yang dilindungi jika tindakan tersebut dilakukan untuk tujuan komersial. Dapat dipahami tindakan imitasi atas desain industri tidak dapat dilindungi terlebih jika tujuannya untuk dikomersialkan, karena hal ini dapat merugikan pemegang hak desain industri. Namun di Indonesia tidak semua desain industri yang dihasilkan oleh pendesain dapat dilindungi sebagai hak atas desain industri. Hanya desain industri yang baru yang oleh negara dapat diberikan kepada pendesain.
Baca juga: Perspektif Hukum Terhadap Pengalihan Merek Melalui Wakaf
Dalam Putusan Mahkamah Agung No. 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013 dapat disimpulkan karena kesalahan Penggugat yang kurang cermat saat mengajukan gugatan terhadap Tergugat sehingga hak desain sepatu “Onitsuka Tiger” menjadi milik Tergugat meskipun secara substansi hak desain industri adalah milik Penggugat yang harus dilindungi. Sehingga untuk melindungi hak pendesain atas tindakan imitasi yang terjadi, Indonesia dapat menerapkan amanat dalam TRIPs Agreement.
Download:
Putusan Mahkamah Agung No. 189 K/Pdt.Sus-HKI/2013
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual