Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Sebuah hasil desain industri yang telah diwujudkan tidaklah menutup kemungkinan untuk ditiru oleh pihak lain, terkecuali desain tersebut telah dilakukan permohonan pendaftaran ke dalam instansi yang melindunginya, yaitu Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri. Desain industri mendapat perlindungan berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri (selanjutnya disebut UU Desain Industri). Untuk mendapatkan keuntungan dalam hasil desain industri pemegang hak desain industri dapat menjual, mengimpor dan/atau mengekspor desain tersebut hingga sampai ke tangan pedagang dan diterima oleh pembeli sebagai manfaat yang digunakan. Desain industri memiliki prinsip kebaruan, jika ada yang mendaftarkan sebuah desain industri namun dengan itikad tidak baik karena tidak memiliki kebaruan maka pemegang hak desain industri dapat melakukan gugatan. Dalam hal ini bagaimana jika pedagang produk desain industri yang mengajukan gugatan pembatalan namun tidak memiliki sertifikat kepemilikan desain industri dan apakah akibat hukumnya?
Sengketa seperti ini pernah terjadi dan dapat dilihat dalam Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-HKI/Desain/2021/PN Niaga Sby. Sengketa ini antara PT. Gunung Cemara Sentosa sebagai Penggugat, PT. AIWO Internasional Indonesia sebagai Tergugat, PT. Logam Sejati sebagai Turut Tergugat I, dan Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri sebagai Turut Tergugat II. Dalam kasus posisinya Penggugat mengajukan gugatan pembatalan desain industri “AS KRAN”, Daftar No. IDD000047479 dengan Tanggal Pendaftaran 13 Desember 2017 milik Tergugat yang mana desain industrinya tidak memenuhi unsur kebaruan (novelty) dan telah menjadi milik umum (public domain) karena telah ada pengungkapan jauh sebelumnya terkait permohonan pendaftaran desain industri milik Tergugat. Desain Industri milik Tergugat adalah hasil kreasi yang semata-mata berfungsi teknis dan tidak memiliki kesan estetis sehingga bukan merupakan objek desain industri.
Baca juga: Pemberlakuan Tidak Mutlak Asas First To File Terhadap Pembatalan Merek di Indonesia
Dalam eksepsi Tergugat dan Turut Tergugat I salah satunya mendalilkan bahwa Penggugat tidak mempunyai kepentingan/legal standing sebagai Penggugat untuk mengajukan gugatan (disqualification exceptie) sebagaimana dalam gugatan angka 2 “Bahwa Penggugat sejak tahun 2010 telah memperdagangkan berbagai macam model Kran Air di Indonesia…” dan angka 6 “Bahwa sejatinya produk-produk Kran Air yang diperdagangkan oleh Penggugat merupakan barang-barang yang diimpor oleh Penggugat dari Negara Republik Rakyat Tiongkok (selanjutnya disebut China)…”. Dalam hal ini Penggugat telah jelas dan mengakui hanya memperdagangkan produk-produk Kran Air yang di impor dari China. Penggugat tidak memiliki sertifikat desain industri dengan dibuktikan dalam database Direktorat Hak Cipta dan Desain Industri. Sehingga dapat dikatakan bahwa Penggugat bukan sebagai pendesain ataupun pemegang hak desain industri maka bukanlah pihak yang berkepentingan sesuai dalam Pasal 38 ayat (1) UU Desain Industri. Dalam pertimbangan Majelis Hakim yang dapat mengajukan gugatan pembatalan pendaftaran desain industri yaitu pihak yang memiliki sertifikat desain industri karena Penggugat hanyalah pedagang yang mengimpor barang-barang dagangannya dari negara China dan tidak dapat membuktikan bahwa Penggugat memiliki sertifikat desain industri.
Menurut penulis, dalam sengketa tersebut jika dilihat ternyata selain Penggugat tidak memiliki sertifikat desain industri atas produk As Kran, Penggugat juga bukan penerima lisensi, sehingga sangat jelas apabila Penggugat bukan sebagai pihak yang berkepentingan sebagaimana yang telah disampaikan Tergugat dan Tergugat I dalam eksepsinya. Hal ini sangat sesuai dengan pendapat menurut Moh Djumhana dan R. Djubaedillah yaitu pembatalan desain industri hanya dapat dimintakan oleh pihak yang berkepentingan yaitu pemilik desain industri yang telah terdaftar terlebih dahulu (Djumhana dan Djubaedillah, 1993).
Sejatinya produk As Kran tersebut telah didaftarkan oleh Xiamen Hengyi Trading Co. Ltd., pada Kantor Kekayaan Intelektual Negara Republik Tiongkok dengan judul “Katup Bola Plastik 2 (dua) Bagian”, dengan No. 97250004.9 pada Tanggal Penerimaan 14 November 1997, dan dipasarkan oleh Shangyu Xier Plastic Valve Lead, Co., Ltd. Maka seharusnya pihak yang berkepentingan untuk mengajukan gugatan pembatalan desain industri ke Pengadilan Niaga Surabaya dalam perkara a quo adalah Xiamen Hengyi Trading Co. Ltd. Oleh karena itu, Penggugat tidak dapat mengajukan gugatan karena bukan pihak yang berkepentingan.
Jika dilihat dalam putusan tersebut desain industri milik Tergugat tidak memiliki nilai kebaruan menurut Penggugat, karena desain industri tersebut sama dengan pengungkapan yang telah ada sebelumnya dan telah diperdagangkan di Indonesia dan di luar negeri sehingga menjadi milik umum (public domain) yaitu didaftarkan oleh Xiamen Hengyi Trading Co. Ltd. Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) UU Desain Industri menyatakan “Hak desain industri diberikan untuk desain industri yang baru.” Unsur kebaruan (novelty) merupakan unsur terpenting untuk menentukan apakah suatu desain industri dapat diberikan perlindungan hukum. Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Desain Industri, apabila telah terdapat pengungkapan terlebih dahulu sebelum pendaftaran pertama kali diajukan maka suatu desain industri dianggap tidak memiliki kebaruan (novelty) dan telah menjadi milik umum (public domain).
Selanjutnya penilaian kebaruan dilakukan kepada keseluruhan kesan yang ditimbulkan dari suatu desain industri yang tidak dapat dipersepsikan sebelumnya, dimana kompleksitas dari suatu desain industri akan diperbandingkan dengan pengungkapan-pengungkapan atau pembanding-pembanding yang telah ada sebelumnya. Pengungkapan dimaksud adalah pengungkapan melalui media cetak atau elektronik.
Kebaruan dalam desain industri adalah kebaruan dari segi tampilannya yang bisa dilihat secara kasat mata, apakah bentuk, komposisi garis atau warna atau konfigurasinya yang bisa dilihat secara kasat mata. Penilaian kebaruan pada konfigurasi secara kasat mata ini pada saat pendaftaran desain ada pada mata pemeriksaan penilai desain industri pada DJKI. Sedangkan, apabila di pengadilan ada pada mata semua orang yang ada diruang sidang, terutama Majelis Hakim. Maka penilaian kebaruan dalam persidangan adalah hak Majelis Hakim dalam memutus. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa pedagang produk desain industri tidak dapat mengajukan gugatan pembatalan melainkan yang dapat mengajukan gugatan adalah Pemilik sertifikat desain industri.
Download:
Putusan Nomor 10/Pdt.Sus-HKI/Desain/2021/PN Niaga Sby.
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual