(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Fica Candra Isnani, S.H.

Proses pembuktian dapat dikatakan mempunyai peranan penting dalam jalannya proses peradilan khususnya terkait sengketa keperdataan. Pembuktian merupakan tahap yang menentukan dalam proses perkara, karena dari hasil pembuktian dapat diketahui benar atau tidaknya suatu gugatan atau bantahan (Sugeng & Sujayadi, 2012:63). Melalui proses pembuktian para pihak dapat menyanggah dalil-dalil gugatan/permohonan/perlawanan/bantahan dengan mengajukan alat-alat bukti  serta meyakinkan hakim atas kebenaran peristiwa atau kejadian.

Berdasarkan Pasal 164 HIR/Pasal 284 RBg dan Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang diakui dalam perkara perdata terdiri dari bukti tulisan, bukti saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Berbicara terkait alat bukti tulisan, sebagaimana diketahui bahwa kekuatan pembuktian surat atau akta terletak pada keasliannya. Menurut M. Yahya Harahap salinan bernilai sebagai alat bukti tulisan atau akta, sepanjang sesuai dengan aslinya (Harahap, 2004:616).

Baca juga: Kedudukan Kreditor Separatis Dalam Pembagian Harta Pailit

Dalam Pasal 1888 KUHPerdata juga menjelaskan bahwa kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan adalah pada akta aslinya. Apabila akta yang asli itu ada, maka salinan serta ikhtisar hanyalah dapat dipercaya sepanjang salinan serta ikhtisar itu sesuai dengan aslinya yang senantiasa dapat diperintahkan untuk ditunjukkan. Dalam perkara perdata, bukti tulisan memiliki kedudukan yang utama, lalu bagaimana jika dalam hal pembuktian berupa tulisan diajukan berupa fotokopi tanpa adanya dokumen asli? Hal tersebut sangat dimungkinkan terjadi apabila nyatanya pihak bersangkutan mengalami keadaan force majeure seperti banjir, kebakaran, atau hal-hal lain yang mengakibatkan hilangnya dokumen.

Aturan terkait keabsahan surat fotokopi (tanpa dokumen asli) dalam hal pembuktian memang masih belum memiliki aturan yang tetap. Adapun aturan Pasal 1889 KUHPerdata mengatur pengecualian terhadap pembuktian surat tanpa dokumen aslinya namun belum secara jelas menegaskan terkait kekuatan pembuktian dokumen fotokopi. Pasal 1889 KUHPerdata berbunyi:

  1. Salinan pertama (gross) memberikan bukti yang sama dengan akta asli; demikian pula halnya salinan yang dibuat atas perintah Hakim di hadapan kedua belah pihak atau setelah kedua pihak ini dipanggil secara sah sebagaimana juga yang salinan dibuat di hadapan kedua belah pihak dengan persetujuan mereka;
  2. Salinan yang dibuat sesudah pengeluaran salinan pertama tanpa perantaraan Hakim atau tanpa persetujuan kedua belah pihak entah oleh Notaris yang di hadapannya akta itu dibuat, atau oleh seorang penggantinya ataupun oleh pegawai yang karena jabatannya menyimpan akta asli (minuta) dan berwenang untuk memberikan salinan-salinan, dapat diterima Hakim sebagai bukti sempurna bila akta asli telah hilang;
  3. Bila salinan yang dibuat menurut akta asli itu tidak dibuat oleh Notaris yang dihadapannya akta itu telah dibuat, atau oleh seorang penggantinya, atau oleh pegawai umum yang karena jabatannya menyimpan akta asli, maka salinan itu sama sekali tidak dapat dipakai sebagai bukti, melainkan hanya sebagai bukti permulaan tertulis;
  4. Salinan otentik dari salinan otentik atau dari akta di bawah tangan, menurut keadaan, dapat memberikan suatu bukti permulaan tertulis.

Menurut Yahya Harahap salinan dengan fotokopi hampir tidak memiliki perbedaan, perbedaan pokok hanya terletak pada instrumen yang digunakan namun penilaiannya dan penghargaan yang diberikan hukum pembuktian kepada salinan juah lebih tinggi dibanding dengan fotokopi (Harahap, 2004:622).  Mahkamah Agung dalam putusannya Nomor 112/K/Pdt/1996 menyatakan bahwa fotokopi kuitansi tanpa diperlihatkan aslinya serta tidak dikuatkan oleh keterangan saksi atau alat bukti lain, tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah dan harus dikesampingkan.

Berdasarkan bunyi ketentuan tersebut sebenarnya terdapat dua unsur agar dokumen fotokopi dapat dijadikan alat bukti yakni diperlihatkan dengan aslinya dan dikuatkan alat bukti lain. Jika dihubungkan dengan perbuatan hukum yakni perjanjian, dimana para pihak bebas menuangkan bentuk perjanjian dalam bentuk dibawah tangan atau dalam bentuk akta otentik notaris. Perjanjian dibawah tanganpun tetap memiliki kekuatan hukum sepanjang kedua belah pihak mengakui kebenarannya. Begitupula alat bukti fotokopi dokumen dalam pengadilan yang seharusnya dapat memiliki kekuatan hukum sepanjang para pihak mengakui atau didukung dengan bukti lain seperti saksi. Hal ini mengingat bahwa banyaknya risiko yang dapat menyebabkan dokumen-dokumen penting hilang atau lenyap seperti bencana atau lainnya.

Baca juga: Pemberesan Harta Pailit Oleh Kurator

Putusan MA Nomor 410 K/pdt/2004 yang kini dijadikan yurisprudensi menerima fotokopi surat sebagai suatu alat bukti yang sah dalam pengadilan dikarenakan telah diakui dan dibenarkan oleh pihak lawan. Fotokopi surat dapat diterima sebagai alat bukti surat apabila dikuatkan dengan alat bukti lain, diterima karena dapat dicocokkan dengan aslinya atau dikuatkan dengan alat bukti lain dan diterima karena diakui kebenarannya. walaupun tidak dapat diperlihatkan surat aslinya dipersidangan namun karena fotokopi surat tersebut telah diakui para pihak termasuk oleh pihak lawan maka fotokopi surat-surat tersebut dapat diterima sebagai bukti surat yang sah didalam persidangan.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bukti surat yang diajukan dalam persidangan berupa fotokopi tanpa adanya dokumen asli masih dapat dijadikan sebagai alat bukti sepanjang dikuatkan dengan alat bukti lain, diterima karena dapat dicocokkan dengan aslinya atau dikuatkan dengan alat bukti lain dan diterima karena diakui kebenarannya.

Tag: Berita , Artikel , Advokat