Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.
Sengketa yang timbul dari perjanjian tidak hanya cidera janji (wanprestasi) namun juga dapat berupa Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Contoh bentuk-bentuk PMH yang mungkin timbul dari adanya suatu perjanjian antar para pihak yaitu:
- Terkait hal-hal esensi atau dasar suatu perjanjian yang baru diketahui kemudian setelah perjanjian tersebut ditandatangani. Salah satu contohnya yaitu terkait obyek dalam perjanjian tersebut. Jika ternyata diketahui salah satu pihak memperjanjikan obyek yang ternyata bukan miliknya atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka pihak lainnya dapat mengajukan permohonan pembatalan atas perjanjian tersebut. Adapun dasar yang digunakan yaitu adanya PMH yang dilakukan salah satu pihak pada saat proses penyusunan perjanjian tersebut;
- Terkaitadanya tindakan-tindakan yang dilakukan salah satu pihak sehingga menimbulkan kerugian bagi pihak lain, yang mana tindakan tersebut secara langsung ataupun tidak langsung berkaitan dengan perjanjian yang ada.
Dalam praktik pembuatan perjanjian bisnis baik nasional maupun internasional sudah dikenal secara umum bahwa para pihak dapat memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa apabila timbul wanprestasi. Lantas, bagaimana apabila para pihak yang mengadakan suatu perjanjian yang di dalamnya memuat klausul arbitrase, mengajukan permohonan arbitrase dengan dasar adanya suatu perbuatan melawan hukum (PMH)?
Perlu dipahami bahwa prinsipnya apabila para pihak telah mengadakan suatu perjanjian dan dalam perjanjian tersebut telah dipilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU Arbitrase), pengadilan negeri tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa terkait perjanjian tersebut.
UU Arbitrase sendiri tidak memberikan pembatasan hanya perkara wanprestasi yang dapat diselesaikan melalui arbitrase. Sebaliknya, dalam hal terjadi sengketa berupa PMH yang dilakukan oleh salah satu pihak atas dasar perjanjian tersebut, maka penyelesaiannya juga dilakukan melalui arbitrase. Hal ini diatur dalam Pasal 2 UU Arbitrase yang menyebutkan bahwa: “… atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.”
Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa perkara yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase adalah bersifat umum, dalam arti segala sengketa yang melibatkan pihak-pihak yang berperkara, baik yang berupa wanprestasi, perbuatan melawan hukum dan lain sebagainya, dengan syarat sengketa tersebut mempunyai kaitan dengan pelaksanaan perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Dengan demikian, forum arbitrase tersebut tidak melulu terkait wanprestasi saja, namun meliputi juga permohonan arbitrase dengan dalil adanya “perbuatan melawan hukum”.
Kewenangan absolut lembaga arbitrase menyelesaikan segala sengketa yang berkaitan dengan klausa arbitrase dipertegaas pada Petunjuk Mahkamah Agung berkaitan dengan persoalan teknis yudisial yang dirumuskan dalam Rakernas Denpasar pada tanggal 18-22 September 2005 dalam bagian I mengenai Kompetensi Absolut yang menyatakan “Pengadilan Negeri / Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase walaupun hal tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum”.
Dalam beberapa contoh preseden yang ada, suatu perkara gugatan PMH yang diajukan ke pengadilan negeri, pada hakikatnya berkaitan dengan suatu perjanjian yang memuat klausul arbitrase mengakibatkan gugatan tersebut ditolak oleh majelis hakim dengan alasan kompetensi absolut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya menyatakan pengadilan negeri tidak berwenang memeriksa perkara tersebut dikarenakan dalam perjanjian yang menjadi dasar hubungan hukum para pihak yang berperkara, memuat klausul arbitrase.
