(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Antonius Gunawan Dharmadji, S.H.

Sering sekali dijumpai pada produk baju, tas, sepatu, atau aksesoris untuk anak lainnya mencantumkan gambar animasi yang berasal dari film yang menjadi kegemaran anak. Tujuannya tentu untuk meningkatkan penjualan produk tersebut dengan menarik perhatian pembeli. Isu hukum dari kegiatan mencantumkan gambar animasi film pada kemasan produk adalah apakah hal tersebut diperbolehkan?

Pertama-tama perlu diketahui bahwa dalam produk tersebut, terdapat kekayaan intelektual berupa hak cipta atas kreasi animasi yang melekat pada barang yang akan diperjualkan. Hak cipta berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”) adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, menurut Pasal 1 angka 3 UUHC yang dimaksud dengan ciptaan adalah setiap hasil karya cipta di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang dihasilkan atas inspirasi, kemampuan, pikiran, imajinasi, kecekatan, keterampilan, atau keahlian yang diekspresikan dalam bentuk nyata.

Gambar karakter kartun/animasi sendiri yang dimaksud dengan ciptaan berupa gambar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) huruf f UUHC. Selain karakter dalam bentuk gambar karakter kartun yang terdapat pada film termasuk pada ciptaan yang dilindungi berupa karya sinematografi  sebagaimana diterangkan Pasal 40 ayat (1) huruf m UUHC. Pada penjelasan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan karya sinematografi adalah ciptaan yang berupa gambar bergerak (moving images), antara lain film dokumenter, film iklan, reportase atau film cerita yang dibuat dengan skenario, dan film kartun. Karya sinematografi dapat dibuat dalam pita seluloid, pita video, piringan video, cakram optik dan/atau media lain yang memungkinkan untuk dipertunjukkan di bioskop, layar lebar, televisi, atau media lainnya. Sinematografi merupakan salah satu contoh bentuk audiovisual.

Apabila pemilik merek yang mencantumkan gambar karakter animasi tersebut menjual produknya tanpa izin dari pemegang hak cipta, maka pemilik merek tersebut dapat dianggap melakukan dugaan pembajakan sebagaimana ketentuan UUHC. Setelah terbukti melakukan pembajakan atau pelanggaran hak ekonomi lainnya yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUHC, maka pelaku dapat dikenakan sanksi yang terdapat pada Pasal 113 UUHC berupa:

  1. Setiap orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta.
  2. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.
  3. Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g UUHC untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1 miliar.
  4. Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada angka 3 yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10  tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4 miliar.

Dalam kasus ini, hanya pihak pencipta dan/atau pemegang hak cipta yang berhak menuntut atas tindak pidana pelanggaran hak cipta yang menyebabkan kerugian kepada pihak tersebut, karena pelanggaran hak cipta merupakan delik aduan.