(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author: Ihda Aulia Rahmah, S.H.

Pengesahan KUHP terbaru masih menjadi topik hangat bagi khalayak umum, mengingat sejauh ini masih banyak kritik yang dilontarkan oleh masyarakat, aktivis, dan akademisi atas beberapa pasal yang ada dalam KUHP terbaru. Ikatan Alumni Universitas Indonesia atau ILUNI FH UI kemudian mencoba mewadahi kritik-kritik tersebut dengan mengadakan diskusi “101 KUHP Baru: Semua Bisa Kena” pada hari Jumat tanggal 16 Desember 2022. Dimana dalam diskusi tersebut dibuka dengan keynote speech dari Hakristuti Hakrisnowo yang merupakan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Dalam diskusi tersebut beliau menyampaikan terkait kebaruan yang ada dalam RKUHP, yakni meliputi:

  1. Tidak ada lagi kategori “Kejahatan” dan “Pelanggaran”.
  2. Mengakui keberadaan “Hukum yang hidup dalam masyarakat” (living law), namun asas legalitas tetap dipertahankan. Living Law hanya berlaku dimana hukum itu hidup dan ketentuan itu tidak diatur dalam RKUHP. Karena sanksi adat cukup berat sehingga diatur pembatasan melalui RKUHP bahwa sanksi yang diancamkan dalam hukum adat maksimal setara dengan denda kategori II.
  3. Tidak lagi memuat unsur “dengan sengaja” tetapi setiap tindak pidana dianggap dilakukan dengan sengaja, kecuali ditentukan bahwa ada “kelalaian atau culpa.”
  4. Perumusan tujuan pemidanaan dan pedoman penjatuhan pidana. Sebelumnya tujuan pemidanaan tidak tercantum dalam KUHP. Tujuan pemidanaan dalam RKUHP meliputi, pencegahan, pemasyarakatan/rehabilitasi, penyelesaian konflik, pemulihan keseimbangan dan penciptaan rasa aman dan damai, penumbuhan penyesalan terpidana.
  5. Membagi 3 (tiga) kategori pidana dan tindakan: dewasa, anak, dan korporasi.
  6. Perumusan Double Track System: Pidana dan Tindakan, yang memperkenankan penjatuhan pidana dan pengenaan tindakan.

Diskusi terkait RKUHP ini juga melibatkan banyak narasumber lain salah satunya Andri G Wibisana yakni Wakil Dekan 1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia yang membahas terkait Kritik dan Pasal Pertanggungjawaban Korporasi serta Pengurus Korporasi dalam KUHP 2022. Andri G Wibisana berpendapat bahwa dalam Pasal 46 RKUHP terkait pertanggungjawaban korporasi yang menyatakan “Tindak pidana oleh korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi atau orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau bertindak demi kepentingan korporasi, dalam lingkup usaha atau kegiatan korporasi tersebut, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama.”

Baca juga: Melakukan Pawai, Unjuk Rasa, dan Demonstrasi Tanpa Izin Dapat Dipidana Dalam KUHP Terbaru!

Menurutnya dalam pasal tersebut hanya diakui teori identifikasi yakni pelaku adalah pengurus yang mempunyai kedudukan fungsional dan pertanggungjawaban pengganti atau vicarious liability yakni pelaku adalah orang berdasarkan hubungan kerja/hubungan lain. Sedangkan dalam pasal ini justru tidak diakui teori agregasi dan adanya pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan korporasi (Corporate Fault). Efek dari tidak diakuinya teori kesalahan korporasi ini kemudian adalah harus selalu ditemukan terpenuhinya actus reus dan mens rea pada diri manusia alamiah sebagai pelaku faktual. Dimana untuk menemukan pelaku faktual dalam suatu tindak pidana tidaklah mudah apalagi jika melibatkan korporasi besar.

Selain itu, menurutnya adanya Pasal 48 RKUHP terkait pertanggungjawaban korporasi mempersulit penerapan pertanggungjawaban korporasi berdasarkan vicarious liability dan identification theory, tetapi tidak mengubah pertanggungjawaban menjadi corporate fault. Tidak sampai disitu beliau juga mengkritisi Pasal 37 RKUHP yang menyatakan bahwa “setiap orang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan orang lain”. Adanya ketentuan ini akan menyimpang dari asas hukum pidana yang bersifat personal, dimana seseorang hanya dapat dikenai pidana atas apa yang dilakukannya. Sehingga dapat disimpulkan dari pasal-pasal tersebut selain mempersulit untuk meminta korporasi bertanggung jawab juga nantinya apabila telah ditemukan pelaku yang faktual dari korporasi tersebut maka semua dalam korporasi tersebut bisa terkena sanksi pidana.

Materi terakhir dari diskusi ini kemudian disampaikan oleh Maidina Rahmawati selaku Peneliti ICJR terkait RKHUP pada aspek kelompok rentan. Maidina menyampaikan beberapa keresahan dari kelompok rentan sebagai berikut:

  1. Dalam pasal Living Law dalam Pasal 2 yang menurutnya masih terdapat perda-perda diskriminatif terhadap perempuan dan kelompok rentan, dan belum ada jaminan bahwa perda tersebut tidak dapat digunakan.
  2. Pasal kriminalisasi mempertunjukkan alat pencegah kehamilan dalam RKUHP Pasal 408-410. Dari 10 peraturan perundang-undangan penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, 6 diantaranya memuat aturan tentang “kampanye penggunaan kondom” pada perilaku seks berisiko, dan kesemuanya memberikan kewenangan untuk memberikan informasi tersebut kepada masyarakat secara luas. Secara jelas kriminalisasi perbuatan mempertunjukkan alat pencegah kehamilan/kontrasepsi bertentangan dengan upaya penanggulangan HIV.
  3. Dalam hal pasal perzinaan dan kohabitasi nantinya dikhawatirkan akan dijadikan alasan untuk memaksakan perkawinan terhadap anak karena orang tua takut anak telah melakukan zina.
  4. RKUHP masih perlu diperbaiki listing dalam Pasal 4 ayat (2) UU TPKS.
  5. Tindak pidana narkotika seharusnya dikeluarkan dari RKUHP karena termasuk non-generic crimes mengingat ketentuan mengenai jenis-jenis golongan diatur tersendiri.

Baca juga: Kontroversi Pasal Penghinaan Presiden dan Wakil Presiden Dalam KUHP Terbaru

Untuk rekomendasi dalam masa krusial yakni masa transisi RKHUP selama 3 (tiga) tahun kedepan. Beberapa aspek berhasil diperketat, sehingga diharapkan di dalam pelaksanaannya dapat lebih diawasi. Namun, beberapa isu ini mengharuskan adanya peraturan pelaksana turunan yang harus dikawal pembentukan dan pelaksanaannya, meliputi: (1) PP dan Perda Living Law; (2) Pidana Mati; (3) Respon aturan turunan aborsi: PP Nomor 61 Tahun 2014 dan Permenkes Nomor 3 Tahun 2017; (4) Harmonisasi ketentuan pidana antara RKUHP dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.

Tag: Berita , Artikel , Advokat