Author: Putri Ayu Trisnawati
Upaya hukum merupakan suatu upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada semua pihak yang sedang berperkara di pengadilan untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan hakim. Pemberian hak kepada setiap orang yang sedang berperkara untuk mengajukan perlawanan terhadap putusan pengadilan yang diberikan oleh undang-undang dimaksudkan untuk mencegah adanya putusan hakim yang salah. Hal ini disebabkan oleh karena hakim sebagai manusia sudah barang tentu juga tidak terlepas dari suatu kesalahan dan/atau kekhilafan (Sarwono, 2011:350).
Peninjauan Kembali dikategorikan sebagai upaya hukum luar biasa karena mempunyai keistimewaan, artinya dapat digunakan untuk membuka kembali (mengungkap) suatu keputusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Sedangkan suatu putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, harus dilaksanakan untuk menghormati kepastian hukum. Dengan demikian, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dipergunakan untuk menarik kembali atau menolak putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Disparitas Pengenaan Sanksi Pidana Dalam Putusan Tindak Pidana Pajak
Terkait upaya hukum peninjauan kembali ini diatur dalam Pasal 66 hingga Pasal 77 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU Mahkamah Agung). Dalam Pasal 67 UU Mahkamah Agung, disebutkan bahwa alasan-alasan permohonan Peninjauan Kembali (PK) adalah:
a.Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan;
c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang dituntut atau lebih daripada yang dituntut;
d.Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e.Apabila antara pihak-pihak yang sama mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu sama yang lain;
f.Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Alasan-alasan permohonan peninjauan kembali tersebut sedikit berbeda dengan proses dalam sengketa perpajakan. Secara umum peninjauan kembali merupakan keadaan dimana apabila wajib pajak masih merasa belum puas dengan putusan banding/gugatan yang telah diputus oleh Pengadilan Pajak, maka wajib pajak dapat mengajukan peninjauan kembali yang ditujukan kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 Tentang Pengadilan Pajak (UU Pengadilan Pajak) yang menyatakan bahwa “pihak-pihak yang mengalami sengketa pajak, maka dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak yang ditujukan kepada Mahkamah Agung.”
Adapun mekanisme pengajuan peninjauan kembali diatur dalam Pasal 89-93 UU Pengadilan Pajak. Namun demikian, sebelum mengajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung, Wajib Pajak atau Direktorat Jenderal Pajak atau Direktorat Jenderal Bea dan Cukai harus memiliki alasan yang tepat, sebagaimana tertuang di dalam Pasal 91 UU Pengadilan Pajak di antaranya:
a.Apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
b.Apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan menghasilkan putusan yang berbeda;
c.Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c;
d.Apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
e.Apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari penjelasan diatas, apabila dalam pengajuan peninjauan kembali dengan mengajukan bukti tertulis baru (novum) maka perlu dilakukan penyumpahan. Novum merupakan alat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan sehingga dapat diajukan sebagai alasan untuk mengajukan peninjauan kembali. Sesuai dengan Rumusan Kamar Tata Usaha Negara, penyumpahan atas bukti baru (novum) disebutkan dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2015 pada huruf E angka 4 yang menyatakan “dalam hal permohonan Peninjauan Kembali dalam sengketa Tata Usaha Negara didasarkan karena adanya novum, yang disumpah adalah pihak yang menemukan novum atau Pemohon Peninjauan Kembali.”
Adapun untuk tata cara penyumpahan novum adalah sebagai berikut: 1) Ketua Pengadilan atau hakim yang ditunjuk mempelajari surat bukti yang diajukan oleh pemohon peninjauan kembali, apakah surat bukti tersebut memenuhi persyaratan novum atau tidak; 2) Setelah surat bukti tersebut memenuhi persyaratan novum, ketua atau hakim yang ditunjuk melakukan sidang untuk mengambil sumpah tersebut terhadap pemohon peninjauan kembali yang mengajukan novum; 3) Orang yang menemukan novum tersebut mengucapkan sumpah didampingi rohaniwan sesuai dengan keyakinannya; 4) Penyumpahan penemuan novum dibuat dalam berita acara sidang penyumpahan novum dan ditandatangani oleh ketua atau hakim yang ditunjuk dan panitera.
Baca juga: Apakah Penyanderaan (Gijzeling) Bagi Wajib Pajak Termasuk Sanksi Pidana?
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, pengajuan upaya hukum peninjauan kembali berupa novum dapat diajukan dalam waktu 3 bulan terhitung sejak ditemukan surat-surat bukti yang hari dan tanggal ditemukannya harus dinyatakan di bawah sumpah. Dalam hal penemuan novum dalam sengketa perpajakan maka setelah Pengadilan Pajak menerima memori peninjauan kembali dan novum dari pemohon maka Ketua Pengadilan Pajak akan memanggil orang yang menemukan novum tersebut untuk disumpah dan selanjutnya berkas peninjauan kembali tersebut akan dilimpahkan kepada Mahkamah Agung.
Tag: Berita , Artikel , Kuasa Hukum Pengadilan Pajak