Author: Amarullah Ajebi
Perkembangan teknologi telah membawa perubahan yang signifikan di bidang keuangan melalui financial technology atau Fintech. Salah satu perkembangannya adalah equity crowdfunding (ECF) yang secara konsep dapat dipersamakan dengan Initial Public Offering (IPO) dalam hukum Pasar Modal. Keduanya memiliki tujuan yang sama, yakni menawarkan sebagian kepemilikan sahamnya kepada masyarakat untuk mendapatkan tambahan modal. Kemudian, apa perbedaan antara equity crowdfunding (ECF) dan Initial Public Offering (IPO)?
Berdasarkan pada Pasal 1 ayat (1) Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 37/POJK.04/2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding) (selanjutnya disebut POJK 37/2018), yang dimaksud dengan Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi (Equity Crowdfunding) yang selanjutnya disebut Layanan Urun Dana adalah penyelenggaraan layanan penawaran saham yang dilakukan oleh penerbit untuk menjual saham secara langsung kepada pemodal melalui jaringan sistem elektronik yang bersifat terbuka.
Baca juga: Asas Proporsionalitas Dalam Perjanjian Baku
Adapun definisi dari Initial Public Offering (IPO) atau Penawaran Umum sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (selanjutnya disebut UU Pasar Modal) yakni kegiatan penawaran Efek yang dilakukan oleh Emiten untuk menjual Efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.
Dari kedua definisi tersebut perbedaan mendasar terdapat pada kegiatan penawaran efek. Equity crowdfunding merupakan suatu platform yang menghubungkan antara perusahaan dengan investor, di mana investor dapat membeli saham yang ditawarkan oleh perusahaan melalui platform crowdfunding tersebut. Sedangkan IPO adalah proses penawaran saham perdana suatu perusahaan kepada masyarakat umum melalui sistem bursa efek (Siregar, 2021).
Sementara tujuan dibentuknya POJK 37/2018 guna mendukung pelaku usaha pemula (startup company) untuk berkontribusi terhadap perekonomian nasional melalui penyediaan alternatif sumber pendanaan berbasis teknologi informasi. Selain itu, peraturan ini dibentuk untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi pihak yang terlibat dalam kegiatan Layanan Urun Dana melalui Penawaran Saham berbasis Teknologi Informasi. Adapun tujuan dari pembentukan UU Pasar Modal sebagai salah satu sumber pembiayaan bagi dunia usaha dan wahana investasi bagi masyarakat.
Lebih lanjut, pada kepemilikan saham, penawaran saham Equity crowdfunding dibatasi ketentuannya secara limitatif sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) POJK 37/2018 yang mengatur Penawaran saham oleh setiap Penerbit melalui Layanan Urun Dana bukan merupakan penawaran umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal jika:
a.penawaran saham dilakukan melalui Penyelenggara yang telah memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan;
b.penawaran saham dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan; dan
c.total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (22) UU Pasar Modal suatu perusahaan agar bisa menjadi perusahaan publik adalah Perseroan yang sahamnya telah dimiliki sekurang-kurangnya oleh 300 (tiga ratus) pemegang saham dan memiliki modal disetor sekurang-kurangnya Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) atau suatu jumlah pemegang saham dan modal disetor yang ditetapkan oleh Peraturan Pemerintah.
Hal tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 6 POJK 37/2018 yang mengatur Penerbit bukan merupakan perusahaan publik sebagaimana dimaksud dalam UU Pasar Modal jika:
a.jumlah pemegang saham Penerbit tidak lebih dari 300 (tiga ratus) pihak; dan
b.jumlah modal disetor Penerbit tidak lebih dari Rp30.000.000.000 (tiga puluh miliar rupiah).
Baca juga: Pengingkaran Perjanjian Perdamaian oleh Debitor dalam PKPU
Dari uraian diatas, pengaturan mengenai fintech dapat dipahami bahwa dalam penyelenggara Equity crowdfunding harus memperoleh izin dari Otoritas Jasa Keuangan. Selain itu, Penawaran saham dilakukan dalam jangka waktu paling lama 12 bulan dengan total dana yang dihimpun melalui penawaran saham paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar Rupiah). Selain itu, Perusahaan Publik wajib memiliki minimal 300 (tiga ratus) pemegang saham sedangkan Penerbit dalam Layanan Urun Dana maksimal memiliki 300 (tiga ratus) pemegang saham. Pada Perusahaan Publik, modal disetor minimal adalah Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) tanpa batas maksimum, sedangkan pada Penerbit Layanan Urun Dana, modal disetornya ditentukan nilai maksimum (Rahmadhani, 2022:692).