Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.
Perubahan gugatan diperkenankan apabila diajukan sebelum tergugat mengajukan jawaban dan apabila sudah ada jawaban tergugat, maka perubahan tersebut harus dengan persetujuan tergugat. Pengaturan perubahan gugatan tersebut diatur dalam Pasal 127 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang menyatakan bahwa:
“Penggugat berhak untuk mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh mengubah atau menambah pokok gugatannya.”
Perubahan gugatan tersebut dapat dilakukan apabila tidak bertentangan dengan azas-azas hukum secara perdata, tidak mengubah atau menyimpang dari kejadian materiil. Penggugat memiliki hak untuk mengajukan perubahan gugatan, namun hanya yang bersifat mengurangi atau tidak menambah dasar daripada tuntutan dan peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar tuntutan. Jika perubahan gugatan berupa penambahan dasar atau peristiwa yang menjadi dasar tuntutan, maka hal tersebut akan sangat merugikan kepentingan tergugat. Perubahan gugatan diperbolehkan selama tidak merubah materi gugatan, melainkan hanya segi formal dari gugatan (misalnya: perubahan atau penambahan alamat penggugat, nama dari penggugat atau tergugat).
Baca juga: Perjanjian Pra Nikah Terhadap Perolehan Harta Benda Bersama Sebelum Terjadinya Perkawinan
Waktu perubahan gugatan dapat dilakukan pada saat sidang berlangsung dengan cara merenvoi gugatan atau penggugat/kuasanya meminta waktu di luar sidang untuk memperbaikinya jika perubahan itu banyak. Setelah perubahan selesai, maka akan dilanjutkan dengan pembacaan surat gugatan tersebut di sidang berikutnya. Terdapat beberapa pengaturan mengenai batas waktu pengajuan perubahan gugatan, yaitu:
- Sampai saat perkara diputus
Tenggang batas waktu ini ditegaskan dalam rumusan Pasal 127 Rv. Berdasarkan Pasal 127 Rv mengatur bahwa penggugat berhak mengubah atau mengurangi tuntutan sampai saat perkara diputus. Jangka waktu ini dianggap terlalu memberikan hak kepada penggugat untuk melakukan perubahan gugatan dan dianggap sebagai kesewenang-wenangan terhadap tergugat.
- Batas waktu pengajuan pada hari sidang pertama
Buku pedoman yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung (MA) menegaskan bahwa batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan hanya dapat dilakukan pada hari sidang pertama. Selain itu, para pihak juga disyaratkan untuk hadir pada saat pengajuan perubahan gugatan. Jangka waktu dalam buku pedoman MA ini dianggap terlalu membatasi karena hanya memberikan waktu pada hari sidang pertama.
- Sampai pada tahap replik-duplik
Batas jangka waktu pengajuan perubahan gugatan yang dianggap layak dan memadai menegakkan keseimbangan kepentingan para pihak adalah sampai tahap replik-duplik berlangsung. Dalam praktiknya, peradilan cenderung menerapkan batasan jangka waktu perubahan gugatan ini, contohnya dalam Putusan MA No.546 K/Sep/1970.
Terkait perubahan gugatan, M. Yahya Harahap, SH., dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata, Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan”, pada halaman 98 dan 100, menjelaskan pembatasan perubahan gugatan secara kasuistik (sebab-sebab) berdasarkan praktik peradilan, perubahan gugatan yang dilarang diantaranya sebagai berikut:
a.Tidak Boleh Mengubah Materi Pokok Perkara
Salah satu variabel yang merupakan sisi lain dari istilah pokok perkara adalah istilah meteri pokok perkara. Jadi dilarang perubahan gugatan atau tuntutan yang menimbulkan akibat terjadinya perubahan materil pokok perkara. Penegasan ini terdapat dalam Putusan MA No. 547 K/Sip/1973 yang menyatakan: perubahan gugatan mengenai materi pokok perkara adalah perubahan pokok gugatan, oleh karenanya harus ditolak.
b.Tidak Mengubah Posita Gugatan
Gugatan tidak dibenarkan jika terjadi perubahan yang mengakibatkan perubahan posita gugatan. Larangan ini, dikemukakan dalam Putusan MA No. 1043 K/Sip/1971 yang menyatakan: “Yurisprudensi mengizinkan perubahan gugatan atau tambahan asal hal itu tidak mengakibatkan perubahan posita, dan pihak tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri.”
Larangan yang sama dijumpai dalam catatan Putusan MA No. 943 K/Pdt/1985 yang menegaskan, bahwa “Sesuai yurisprudensi perubahan gugatan selama persidangan diperbolehkan asal tidak menyimpang dari posita, dan tidak menghambat pemeriksaan di sidang”. Berikut adalah beberapa yurisprudensi mengenai perubahan gugatan :
- Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;
- Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No. 823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 :Yurisprudensi mengizinkan perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak pembelaan diri) atau pembuktian;
- Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 : Perubahan gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
Baca juga: Tinjauan Yuridis Permasalahan Penolakan Permohonan Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan
Namun perlu diingat, bahwa hak-hak tergugat harus diperhatikan dan tidak boleh diabaikan. Perubahan gugatan yang dilakukan setelah adanya jawaban tergugat maka harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tergugat, hakim tidak boleh mengabaikan tergugat. Jika tergugat tidak menyetujuinya maka hakim harus menolaknya. Hal itu sebagaimana dimaksud dalam yurisprudensi Putusan MA No. 447 K/Sip/1976 tertanggal 20 Oktober 1976 menyatakan: “Permohonan untuk mengadakan penambahan dalam gugatan pada saat pihak berperkara lawan telah menyampaikan jawabannya, tidak dapat dikabulkan apabila pihak berperkara lainnya tidak menyetujuinya” (Chaidir Ali SH., Yurisprudensi Hukum Acara Perdata, pada halaman 195).