Author: Antonius Gunawan Dharmadji dan Ihda Aulia Rahmah
Kamis 30 Maret 2023, Ahmad Dhani dengan tegas mengumumkan larangan bagi Once Mekel untuk menyanyikan lagu ciptaannya di luar konser Dewa 19. Larangan ini disebabkan Dewa 19 akan melakukan tur konser sehingga ditakutkan akan mengurangi antusias penggemar untuk menyaksikan penampilan Dewa 19. Selain itu, larangan ini juga berkaitan tentang permasalahan royalti antara Ahmad Dhani dan Once yang belum terselesaikan.
Pernyataan sikap Ahmad Dhani tersebut menimbulkan 2 (dua) isu hukum. Pertama, apakah pencipta lagu boleh melarang orang lain menyanyikan lagu ciptaannya? Kedua, apakah pencipta lagu harus terdaftar di LMK untuk memperoleh royalti?
Baca juga: Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik Yang Tidak Terdaftar Pada LMKN
Pihak Ahmad Dhani menjelaskan bahwa larangan menyanyikan lagu Dewa 19 atas dasar ketentuan Pasal 113 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU No. 28 Tahun 2014). Ketentuan tersebut menjelaskan bahwa:
“Setiap orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c (penerjemahan ciptaan), huruf d (pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian ciptaan), huruf f (pertunjukan ciptaan), dan/atau huruf h (komunikasi ciptaan) untuk penggunaan secara komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
Ketentuan Pasal 113 ayat (2) UU No. 28 Tahun 2014 melarang seorang pelaku pertunjukan untuk membawakan sebuah lagu secara komersial tanpa izin dari pencipta. Meskipun demikian, untuk memahami ketentuan ini secara tepat, tidak cukup hanya membaca satu pasal saja. Ketentuan dalam UU No. 28 Tahun 2014 harus dibaca secara keseluruhan.
Pasal 23 ayat (5) UU No. 28 Tahun 2014 menjelaskan bahwa: “Setiap orang dapat melakukan penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dengan membayar imbalan kepada pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif.”
Pada ketentuan tersebut dijelaskan bahwa sepanjang telah dibayarkan imbalan kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK), maka siapa saja diperbolehkan untuk membawakan lagu dari pencipta dalam suatu pertunjukan.
Isu hukum lain yang muncul dari perseteruan ini adalah terkait kewajiban untuk pencipta tergabung dalam suatu LMK. Sehubungan dengan itu, ketentuan 87 UU No. 28 Tahun 2014 yang menyatakan bahwa:
(1) Untuk mendapatkan hak ekonomi setiap pencipta, pemegang hak cipta, pemilik hak terkait menjadi anggota Lembaga Manajemen Kolektif agar dapat menarik imbalan yang wajar dari pengguna yang memanfaatkan hak cipta dan hak terkait dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial.
(2) Pengguna hak cipta dan hak terkait yang memanfaatkan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait, melalui Lembaga Manajemen Kolektif.
(3) Pengguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) membuat perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif yang berisi kewajiban untuk membayar royalti atas hak cipta dan hak terkait yang digunakan.
(4) Tidak dianggap sebagai pelanggaran Undang-Undang ini, pemanfaatan ciptaan dan/ atau produk hak terkait secara komersial oleh pengguna sepanjang pengguna telah melakukan dan memenuhi kewajiban sesuai perjanjian dengan Lembaga Manajemen Kolektif.
Ketentuan Pasal 87 UU No. 28 Tahun 2014 tidak mengharuskan seorang pencipta untuk terdaftar dalam LMK, akan tetapi bergabungnya pencipta dalam LMK secara tidak langsung diperlukan mengingat mekanisme pembayaran royalti akan lebih mudah. Lebih lanjut, pada kondisi pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait belum menjadi anggota dari suatu LMK, maka royalti yang tidak diketahui dan/atau disimpan dan diumumkan oleh LMKN selama 2 (dua) tahun untuk diketahui pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait. Apabila dalam periode 2 (dua) tahun tersebut pencipta, pemegang hak cipta, dan pemilik hak terkait telah menjadi anggota suatu LMK, maka royalti akan didistribusikan. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 Tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau musik.
Pihak yang berkewajiban membayar royalti dalam konser musik adalah pihak penyelenggara (Event Organizer / EO). Sementara itu, besaran royalti yang dibayarkan oleh penyelenggara (Event Organizer / EO) dalam suatu konser musik adalah dari hasil kotor penjualan tiket dikali 2% (dua persen) ditambah dengan tiket yang digratiskan dikali 1% (satu persen). Perhitungan lain dari biaya produksi musik dikali 2% (dua persen). Besaran ini merujuk pada ketentuan Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor HKI.2.OT.03.01-02 Tahun 2016 jo. Keputusan LMKN Nomor: 20160512KM/LMKN-Pleno/Tarif Royalti/2016.
Baca juga: Pembayaran Royalti Atas Penggunaan Hak Cipta Dalam Kasus Rhoma Irama Dengan PT. Sandi Record
Pengaturan mengenai mekanisme pembayaran royalti satu pintu melalui LMK berlaku tidak hanya di Indonesia tetapi juga berlaku secara internasional. Sebagai contoh Amerika Serikat mengenal adanya sebuah komisi bernama MLC (Mechanical Licensing Collective) yang terdiri dari 14 orang dan bertugas memastikan seluruh musisi dunia yang karyanya diputar di AS mendapatkan royalti. (Ginting, 2019:393).
Perlu dibedakan antara hak pencipta atas karya ciptaannya dalam lingkup public performance dan dalam lingkup non-public performance. Layanan publik yang disiarkan melalui speaker di tempat umum merupakan contoh perwujudan dari public performance dan atas hal tersebut diberlakukan mekanisme pemungutan royalti melalui LMK. Sementara contoh dari non-public performance adalah penggunaan lagu untuk iklan, perekaman untuk sebuah produksi lagu, atau penggunaan dalam sebuah film. Berbeda dengan public performance dalam hal non-public performance pemakai lagu wajib untuk meminta izin kepada pencipta lagu.
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual