Author: Nur Laila Agustin, S.H.
Pada tahun 2022 ini, Indonesia sedang hangat pemberitaan terkait piala dunia (Fifa World Cup 2022) di Qatar. Banyaknya penggemar sepak bola menunjukkan kesuksesan sepak bola di dunia internasional, untuk itu penggemar sepak bola yang tidak dapat melihat secara langsung dapat melihatnya melalui media elektronik, salah satunya televisi. Agar dapat melihat permainan sepak bola di televisi tersebut maka harus ada perusahaan yang berkedudukan di Indonesia mendapatkan lisensi atau izin resmi dari FIFA menayangkan siaran piala dunia di Indonesia (Rayes, 2020:3).
Penayangan siaran dapat diperoleh melalui berbagai cara, salah satunya menandatangani atau menerima lisensi. Dalam konteks lisensi, pemberian lisensi terbentuk adanya dari perjanjian yang para pihaknya adalah pemberi lisensi serta penerima lisensi (Shabariyah & Kansil, 2020:749). Dengan adanya lisensi ini penerima lisensi dapat menayangkan siaran piala dunia serta akan mendapatkan hak ekonomi atas penayangan tersebut.
Baca juga: Kronologis Sengketa Merek Terkenal antara Solaria Melawan Solaris
Meskipun di Indonesia telah terdapat perusahaan yang dapat menyiarkan secara resmi melalui saluran televisi masih banyak pelaku yang melakukan penyiaran ulang siaran, bahkan ada yang menyiarkan secara langsung tanpa izin penerima lisensi. Hal ini sudah dapat dikatakan sebagai pelanggaran hak ekonomi terhadap lembaga penyiaran, karena konten yang ditayangkan bersifat komersial. Lantas atas tindakan tersebut, dapatkah penerima lisensi menuntut atas pelanggaran hak ekonomi lembaga penyiaran?
Penuntutan atas pelanggaran hak ekonomi lembaga penyiaran dapat kita lihat dalam Putusan Nomor 193/Pid.Sus/2019/PN TTE. Dalam kasus posisinya bahwa Terdakwa Ir. Muhammad Bachmid MBA alias Aba selaku Direktur Utama (Dirut) PT. Bintang Kejora Cable sebagai Lembaga Penyiaran Berlangganan (LPB) televisi kabel. LPB menyampaikan bahwa PT. Bintang Kejora Cable terbatas kepada 45 (empat puluh lima) konten penyiaran tidak termasuk konten piala dunia, jika ingin menayangkan maka harus meminta izin hak siar kepada PT. Digital Vision Nusantara (K-Vision) dan TransVision yang mendapat sublisensi dari Futbal Momentum Asia (FMA).
Namun Terdakwa melakukan penayangan siaran ulang konten sepakbola piala dunia tahun 2018 sejak tanggal 15 Juni 2018 sampai dengan tanggal 15 Juli 2018 melalui televisi kabel Bintang Kejora Cable miliknya kepada masyarakat dengan maksud menyiarkan secara komersial kepada masyarakat pelanggannya. Terdakwa menggunakan alat berupa reciever merek Sky Box guna menangkap satelit Intel Sat 19 Chanel Liga (siaran Philipina) sehingga dapat menangkap siaran pertandingan sepak bola piala dunia tahun 2018 baik siaran ulang maupun siaran langsung. Terkait penyiaran secara komersial dapat dilihat dengan 2 (dua) cara yaitu, melalui direct commercial dengan mendapatkan keuntungan secara langsung dan indirect commercial dengan mendapatkan keuntungan secara tidak langsung (Shabariyah & Kansil, 2020:749).
Tindakan terdakwa tidak dapat dibenarkan dan melanggar ketentuan Pasal 118 ayat (1) UU Hak Cipta yang mengatur: “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan/atau huruf d untuk penggunaan secara komersial, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Jika melihat unsur dalam ketentuan diatas dapat dibuktikan secara jelas bahwa unsur tersebut terpenuhi. Unsur setiap orang, bahwa siapa saja yang harus dijadikan terdakwa atau setiap orang sebagai subjek hukum yang dapat dimintai pertanggungjawaban dalam segala tindakannya kecuali secara tegas undang-undang menentukan lain. Dalam hal ini subjek hukum yaitu Terdakwa Ir. Muhammad Bachmid MBA alias Aba selaku Direktur Utama (Dirut) PT. Bintang Kejora Cable. Kemudian unsur dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi terbukti sebagaimana dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum.
Korban (penerima lisensi) dapat melakukan penuntutan terhadap terdakwa sebab memperhatikan aspek korban dan aspek pelaku dimana korban dirugikan secara materiil yaitu kerugian berupa hak ekonomi yang dilanggar. Tindakan yang dilakukan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan maka majelis hakim dalam amar putusannya Terdakwa dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana dengan sengaja dan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi (sesuai dakwaan primair) dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan serta pidana denda Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan.
Baca juga: Pemegang Hak Cipta Terhadap Ciptaan Yang Dibuat Di Bawah Pimpinan dan Pengawasan Badan Hukum
Sebetulnya jika Terdakwa meminta izin kepada penerima lisensi, tidak akan ada pelanggaran hak ekonomi terhadap lembaga penyiaran, karena penyiaran ulang konten maupun secara langsung yang bertujuan komersial termasuk pelanggaran hal ini dijelaskan dalam Pasal 25 ayat (3) UU Hak Cipta. Pelindungan siaran selain dilindungi dalam UU Hak Cipta juga dilindungi dalam Pasal 43 UU Penyiaran. Agar tidak terjadi hal tersebut diperlukan peran pemerintah untuk mencegah adanya pelanggaran hak cipta atau hak terkait untuk penggunaan sistem elektronik secara komersial dengan mensosialisasikan pentingnya izin atau lisensi terhadap penayangan konten siaran baik secara langsung maupun siaran ulang.
Download:
Putusan Nomor 193/Pid.Sus/2019/PN TTE
Tag: Berita , Artikel , Konsultan Kekayaan Intelektual
