(031) 8495399 doni.advokat@gmail.com
EnglishIndonesian

Persekutuan Perdata Doni Budiono & Rekan

Author : Ihda Aulia R.

Perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata didefinisikan sebagai suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dalam dunia bisnis dewasa ini dikenal adanya perjanjian baku. Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa perjanjian baku ialah perjanjian yang hampir semua klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pihak yang membuat klausula tersebut, sehingga pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk membandingkan atau meminta perubahan (Atmoko, 84-85:2022).

Perjanjian baku merupakan akibat tidak langsung dari introduksi asas kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata. Asas kebebasan berkontrak ini memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian melakukan hal-hal sebagai berikut (Al-Qarano, 5:2021):

1.Bebas menentukan apakah akan melakukan perjanjian atau tidak

2.Bebas menentukan dengan siapa akan melakukan perjanjian

3.Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian

4.Bebas menentukan bentuk perjanjian.

Baca juga: Pengingkaran Perjanjian Perdamaian oleh Debitor dalam PKPU

Perjanjian baku dilakukan oleh salah satu pihak yang membuat klausula-klausula perjanjian, sedangkan pihak lain pada dasarnya tidak mempunyai pilihan, selain menolak atau menerima klausula-klausula tersebut. Keadaan ini menyebabkan posisi kedua belah pihak dalam suatu perjanjian tidak seimbang. Dalam pembentukan perjanjian sendiri dikenal adanya asas proporsionalitas, menurut Hernoko asas personalitas dalam perjanjian dimaknai sebagai asas yang melandasi pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai porsinya atau bagiannya (Al-Qarano, 6:2021). Asas ini tidak mempermasalahkan keseimbangan hasil, namun lebih menekankan proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak.

Asas proporsionalitas merupakan perwujudan doktrin “keadilan berkontrak” yang mengoreksi dominasi asas kebebasan berkontrak yang dalam beberapa hal justru menimbulkan ketidakadilan. Asas ini tidak hanya penting untuk menghasilkan kontrak yang berkeadilan dan saling menguntungkan (keadilan substansial), namun dengan asas proporsionalitas penting juga untuk menekankan adanya fairness (keadilan dalam prosedur), sehingga atas perannya tersebut seyogyanya asas proporsionalitas dapat selalu terlibat dalam setiap proses pembentukan kontrak (Al-Qarano, 6:2021).

Namun, dalam pembentukan perjanjian baku asas ini tidak dilibatkan dan menyebabkan ketidakseimbangan. Ketidakseimbangan ini disebabkan para pihak memiliki bargaining position yang tidak sama, sehingga akan menimbulkan unreal bargaining. Terdapat beberapa hal yang menyebabkan adanya ketidakseimbangan kedudukan dalam perjanjian baku, yakni (Prasnowo & Badriyah, 67-68: 2019):

  1. Pembuat kontrak baku pada umumnya memiliki penguasaan terhadap sumber daya (ekonomi, teknologi, atau ilmu) yang lebih tinggi dibandingkan pihak penerima kontrak baku. Salah satu bentuknya adalah terlihat dalam klausula-klausula yang terdapat dalam bentuk standar atau baku yang isinya cenderung berat sebelah atau disebut sebagai klausula eksemsi atau eksonerasi. Klausula ini memberikan batasan dan atau pengalihan bentuk tanggung jawab terhadap suatu resiko bisnis kepada pihak lainnya sehingga dapat menimbulkan kerugian atau keuntungan yang tidak wajar terhadap salah satu pihak. Ketidakseimbangan kedudukan ini dapat dilihat dengan adanya klausula-klausula di dalam kontrak baku yang semata-mata hanya mementingkan kepentingan si pelaku usaha atau pemilik modal yang posisi tawarnya lebih kuat.
  2. Keterbatasan akses informasi yang seharusnya diperoleh oleh penerima kontrak baku. Penerima kontrak dalam menandatangani kontrak baku hanya berfokus pada hal-hal penting dalam kontrak, hal-hal seperti pemilihan forum penyelesaian sengketa, ganti rugi apabila wanprestasi, kebijakan-kebijakan yang berubah, dan sebagainya, tidak menjadi perhatian Keterbatasan dalam hak untuk menyampaikan pendapat dalam kontrak terhambat karena pihak penerima kontrak dihadapkan pada pilihan “take it or leave it” terutama apabila penerima kontrak dihadapkan pada objek kontrak yang bersifat pemenuhan kebutuhan mendasar seperti kebutuhan akan sandang, pangan dan papan, maka pilihan ini akan menimbulkan dilema.
  3. Adanya kelemahan di bidang ekonomi atau kelemahan di bidang pengetahuan pada pihak penerima kontrak baku menyebabkan aspek keseimbangan kedudukan menjadi tidak terpenuhi. Pihak penerima kontrak baku pada umumnya menandatangani kontrak yang disodorkan akibat kebutuhan terhadap objek kontrak.
  4. Adanya kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki salah satu pihak lebih besar, hal ini tampak dalam kontrak yang dilakukan antara pemerintah dalam kapasitasnya selaku Subjek hukum privat dalam hubungan keperdataan misalnya kontrak pengadaan barang dan jasa.

Baca juga: Homologasi dalam Proses PKPU

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwasanya dalam pembentukan perjanjian baku tidak mencerminkan asas proporsionalitas karena hanya satu pihak yang menyusun klausula perjanjian. Meskipun para pihak yang terlibat perjanjian memiliki kebebasan untuk menentukan isi dan klausula perjanjian, tetapi dalam pembentukan perjanjian tetap harus memperhatikan asas proporsionalitas. Agar tidak terjadi ketidakseimbangan dalam suatu perjanjian dan dapat dilaksanakan pemenuhannya tanpa paksaan.

Tag: Berita , Artikel , Advokat