Info Seputar Penulis:
Stefanus Kurniawan Dharmadji (1322200025) mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
Pada dasarnya argumentasi hukum tidak dapat berlaku secara retroaktif karena argumentasi hukum atau legal reasoning tidak hanya dipahami sebagai ilmu hafalan atas peraturan saja tetapi didasari oleh logika berpikir yang logis dengan penyampaian gagasan dan opini hukum seperti seorang advokat yang memberikan argumentasi hukum kepada kliennya. Advokat merupakan seseorang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan undang-undang yang dalam pekerjaan sehari-harinya sering memberikan argumentasi hukum. Terkait Retroaktif dalam Black’s Law Dictionary didefinisikan sebagai “extending in scope or effect to matters that have occurred in the past.” Di Indonesia sendiri digunakan istilah “berlaku surut”, sistem hukum Indonesia secara jelas mengatur bahwa terhadap peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut atau non-retroaktif (Widyawati, 2011:171). Ketentuan ini diatur dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.”
Pemberlakuan hukum yang tidak berlaku surut atau non-retroaktif umumnya dikaitkan dengan hukum pidana karena dalam hukum pidana dikenal adanya asas nullum delictum noela poena sine pravia sine lege poenali (tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan) (Widyawati, 2011:171). Hal ini juga dikenal dengan asas legalitas yang diatur dalam Pasal 1 angka 1 KUHP yang menyatakan bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada” (Ariyanti, 2022:154).
Baca juga: Syarat Pembatalan Akta Perdamaian dalam Perkara Perdata
Berdasarkan beberapa ketentuan tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan hukum berlaku retroaktif adalah hukum yang dapat berlaku terhadap perbuatan yang dilakukan sebelum hukum tersebut ada. Dalam perkembangannya di Indonesia pemberlakuan hukum secara retroaktif justru tetap eksis meskipun hanya berlaku terhadap beberapa tindak pidana tertentu. Setidaknya terdapat 2 (dua) Undang-Undang di Indonesia yang berlaku secara retroaktif, yakni Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2013 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Soegijanto, 2018:33). Hal tersebut menunjukkan bahwa dasar pelarangan pemberlakuan asas retroaktif dalam sistem hukum di Indonesia masih relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan zaman menuntut peranan hukum, khususnya hukum pidana yang semakin diperluas. Meskipun demikian pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan semakin melemahnya kekuatan asas legalitas beserta dengan konsekuensinya (Widyawati, 2011:176).
Merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 0065/PUU-II/2004, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 28I UUD 1945 harus diaplikasikan beriringan dengan Pasal 28J, sehingga secara sistematik hak asasi manusia termasuk dalam hal ini hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut tidaklah bersifat mutlak. Karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan Undang-Undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis.
Dalam hukum Indonesia pembatasan terhadap asas non retroaktif tersebut terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP, dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes seperti terorisme, dan pelanggaran HAM (Ariyanti, 2022:155). Berkaitan dengan hubungan antara Pasal 28I UUD 1945 yang mengatur tentang asas non-retroaktif dan Pasal 28J yang dinilai memuat pembatasan atas pasal tersebut, maka perlu ditinjau dari kata yang digunakan. Kata “tidak dapat dikurangi” yang terdapat dalam Pasal 28I UUD 1945 tidak dapat disandingkan dengan kata “pembatasan” yang diatur dalam Pasal 28J UUD 1945, karena antara keduanya memiliki konsep dan makna yang berbeda. Pembatasan atau limitasi merupakan hal ikhwal dimana suatu negara dapat membatasi hak asasi manusi individu di dalam yurisdiksinya. Pembatasan ini hanya dimungkinkan pada pasal-pasal suatu perjanjian internasional. Dalam konteks Konvenan Sipil dan Politik pembatasan hanya dapat dilakukan pada pasal-pasal yang disebutkan dalam pasal tersebut untuk dilakukan pembatasan (Nurhidayatuloh, Idris, Nurliyantika, dan Zuhro, 2022:304).
Berbeda dengan pembatasan, pengurangan atau derogasi adalah hak negara untuk melakukan pengurangan terhadap kewajiban pemenuhan hak asasi manusai terhadap individu di dalam yurisdiksinya. Ketentuan tentang derogasi berkebalikan dengan limitasi dimana dalam limitasi aturannya harus jelas dalam pasal tersebut memperbolehkan limitasi. Di sisi lain, derogasi dimungkinkan dalam semua pasal yang terdapat dalam Konvenan Hak Sipil dan Politik kecuali hak-hak yang non derogable rights, termasuk dalam hal ini hak untuk tidak dituntut dengan hukum yang berlaku surut (Nurhidayatuloh, Idris, Nurliyantika, dan Zuhro, 2022:304-305).
Asas non-retroaktif adalah asas yang bersifat universal dan mutlak, dalam hal ini maka perlu definisi yang luas terkait hukum itu sendiri yakni tidak terbatas pada hukum nasional atau hukum tertulis saja. Contohnya, ketika terjadi kejahatan genosida dalam suatu negara “A” tetapi hukum nasional negara tersebut belum mengatur terkait kejahatan genosida, maka perlu kita cermati jika pada saat kejahatan genosida tersebut terjadi di negara “A” hukum internasional telah mengatur terkait kejahatan genosida maka penerapan hukum dan sanksi terhadap kejahatan genosida yang terjadi di negara “A” tersebut bukan termasuk pengabaian dari asas non-retroaktif. Karena telah ada aturan hukum sebelum perbuatan atau kejahatan itu terjadi, dalam hal ini adalah hukum internasional.
Baca juga: Penyelesaian Sengketa Perdata Melalui Gugatan Sederhana
Jika melihat pendapat hukum tersebut di atas, maka argumentasi hukum tidak dapat berlaku surut (retroaktif) karena argumentasi hukum merupakan dasar-dasar logika berpikir seperti proposisi, premis, argumentasi, validitas, induktif-deduktif, berpikir objektif yang terus berkembang mengikuti perkembangan zaman untuk menghasilkan konklusi yang konkrit. Dalam kaitannya dengan seorang advokat yang memberikan argumentasi hukum kepada kliennya maka advokat memiliki hak imunitas yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Seorang advokat harus merasakan kebebasan sebagai pekerjaannya, tidak merasa takut serta tidak merasa terkait kepada suatu kekuasaan yang mengintervensi inheren dengan hak kebebasan tersebut termasuk dalam memberikan argumentasi hukum sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh sebabnya hak imunitas melekat pada profesi advokat.
Berdasarkan pada ketentuan dan pendapat tersebut di atas maka dapat disimpulkan bahwa pemberlakuan asas retroaktif dalam argumentasi hukum tidak dapat diterapkan dalam argumentasi hukum. Hukum sejatinya tidak dapat berlaku retroaktif atau berlaku surut, dengan kata lain asas non-retroaktif atau berlaku tidak surut dalam sistem hukum memiliki sifat mutlak. Dalam hal ini asas non-rektroaktif tersebut dipandang sebagai asas universal yang tidak terbatas pada hukum nasional atau hukum tertulis saja. Sehingga pemberlakuan hukum terhadap perbuatan yang dilakukan sebelum adanya hukum itu sendiri merupakan hal yang tidak dapat dilakukan, kecuali jika hukum tersebut telah dikenal dalam secara universal atau telah hidup dalam Masyarakat.